REPUBLIKA.CO.ID, ARBINDA -- Serangan yang terjadi di Burkina Faso menewaskan 35 orang warga sipil. Hampir semua korban serangan paling mematikan dalam lima tahun terakhir itu adalah perempuan. Tujuh tentara dan 80 orang bersenjata juga tewas dalam serangan ganda di pangkalan militer dan kota Arbinda, Provinsi Soum.
"Kelompok besar teroris secara serempak menyerang pangkalan militer dan populasi warga sipil di Arbinda," kata Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Burkina Faso dalam pernyataan mereka dilansir Aljazirah, Kamis (16/12).
Burkina Faso yang berbatasan dengan Mali dan Niger kerap dihantam serangan. Sejak 2015 sudah ratusan orang yang tewas dalam kekerasan yang menyebar di wilayah Sahel.
"Aksi heroik pasukan kami memungkinkan 80 teroris dinetralisir. Serangan barbarik menghasilkan 35 kematian warga sipil, sebagian besar dari mereka adalah perempuan," kata Presiden Burkina Faso Roch Marc Christian Kabore.
Menteri Komunikasi dan juru bicara pemerintah Remis Dandjinou mengatakan 31 korban tewas adalah perempuan. Para korban sedang mengambil air ketika serangan dilakukan.
"Rakyat, sebagian besar perempuan, sedang mengambil air dan dibunuh dengan darah dingin oleh teroris ketika mereka mundur. Kami harus menunjukkan belas kasih kepada rakyat. Itu mengapa semua bendera akan dikibarkan setengah tiang selama dua hari dan perayaan Natal dibatalkan," kata Dandjinou.
Islam agama yang dominan di Burkina Faso yang berpenduduk 20 juta jiwa. Tapi ada minoritas Kristen sebanyak 20 persen. Presiden Christian Kabore mendeklarasikan masa berkabung nasional selama 48 jam.
Tentara Burkina Faso mengatakan sekelompok orang bersenjata menggelar serangan pagi hari dengan sepeda motor dan berlangsung selama beberapa jam. Sebelum tentara yang dibantu angkatan udara memukul mundur pelaku serangan.
Belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas serangan ini. Tapi serangan-serangan yang terjadi di Burkina Faso kerap dilakukan oleh al Qaeda dan ISIS.
"Ini serangan paling buruk yang pernah saya tahu di Burkina Faso, yang baru mengalami serangan teroris pada 2015," kata profesor ilmu politik dan hubungan internasional George Washington University William Lawrence.
Lawrence mengatakan baik dari segi mematikan dan frekuensinya terus meningkat. Tapi menurutnya serangan hari Natal ini sangat buruk. Menurut Lawrence kelompok yang melakukan serangan ini dipimpin orang yang berasal dari Burkina Faso.
"Orang itu merekrut prajurit dari Burkina Faso. Bahkan mereka melancarkan serangan dari Mali dan ketika mereka mencoba untuk menabur kekacauan dan mendapat tekanan dari Prancis, tujuan utama mereka untuk membebaskan wilayah ini dan mendirikan Negara Islam, tidak seperti yang kami lihat di Mali utara tahun 2012," katanya.