REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo meninjau langsung upaya pembesaran benih lobster yang dilakukan masyarakat Telong Elong dan Teluk Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (26/12). Edhy menilai masyarakat Telong Elong hingga Dusun Gilire telah melakukan pembesaran benih lobster secara konvensional sejak 2007. Sementara di Teluk Ekas, telah berhasil dilakukan pembesaran dengan teknologi yang lebih modern.
Edhy mengaku takjub lantaran sudah banyak masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini. Dia berharap usaha pembesaran lobster ini mampu memberikan nilai tambah pendapatan bagi masyarakat pesisir.
Edhy mengatakan, perairan selatan NTB merupakan salah satu hotspot kelimpahan benih lobster yang luar biasa di samping perairan selatan Jawa dan barat Sumatera. Berbagai hasil kajian termasuk hasil studi kolaborasi KKP dalam hal ini Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Lombok dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) menyebutkan, diperkirakan ada ratusan juta benih lobster per tahun di area hotspot tersebut.
"Sementara di hotspot ini terjadi sink population, di mana populasi benih lobster tiba-tiba lenyap pada fase peurelus, dengan kelangsungan hidup (SR) hanya 0,01 persen atau satu ekor yang hidup sampai dewasa dari 10 ribu ekor benih," ucap Edhy.
Di sisi lain, lanjut Edhy, pemberlakuan Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan telah menimbulkan polemik di masyarakat. Permen yang memang bertujuan mengendalikan eksploitasi benih lobster demi menjaga keberlanjutan stoknya di alam ini, dinilai telah menghambat usaha orang-orang yang menggantungkan hidup di sana.
Oleh karena itu, lanjut Edhy, pemerintah kembali melakukan pengkajian, tidak hanya dengan memperhatikan aspek lingkungan, tetapi juga ekonomi dan sosiokultural. Edhy menyampaikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpesan pemerintah harus berada di depan dan kebijakan yang dibuat harus berbasis pada problem solving.
"Oleh karenanya, pada periode kepemimpinan saya, saya ingin memastikan setiap kebijakan benar-benar berbasis pada kajian ilmiah dan peran partisipasi publik sehingga arahnya jelas yakni keberpihakan pada masyarakat dan pelestarian sumber daya lobster," ucap Edhy.
Menurut Edhy, KKP saat ini tengah menggodok revisi Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 secara teliti dan hati-hati dengan mempertimbangkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan dan para ahli yang bertujuan pengembangan budidaya ke depan dapat berjalan lancar dengan tetap menjamin kelestarian stok di alam. Edhy mengaku banyak sekali narasi-narasi yang menyudutkan dirinya terkait rencana dibukanya ekspor benih.
"Sampai saat ini belum ada keputusan final apa pun berkaitan dengan isu tersebut. Saya tidak ingin buru-buru ambil keputusan sebelum pertimbangan baik buruknya benar-benar matang," kata dia.
Namun ia meyakini, pemanfaatan benih lobster untuk kegiatan budidaya jelas harus didorong.
"Jika Vietnam mampu membangun pembesarannya, Indonesia harus lebih mampu dan menguasai pasar lobster konsumsi dunia yang nilai ekonominya sangat besar. Kalau perlu sampai pada tahap budidaya," ucap Edhy.
Edhy menambahkan, KKP akan bekerja sama dengan ACIAR dan Universitas Tasmania yang telah berhasil membenihan dan membudidayakan lobster secara berkelanjutan dan tidak merusak plasma nutfah lobster alam. Edhy menjelaskan, pengembangan budidaya ini tidak hanya untuk memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga berperan sebagai buffer stock, yaitu melalui pengaturan kewajiban restocking pada fase tertentu.
"Kami juga akan segera menyusun roadmap pengembangan industri lobster nasional dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait. Kajian stok, pengaturan area tangkap lestari, pemetaan ruang untuk budidaya, penyiapan teknologi, investasi, dan lain lain akan mulai kita susun strateginya," tambah Edhy.
Edhy mengungkapkan budidaya (akuakultur) jika dikelola dengan bijaksana dapat menghasilkan nilai tambah, memperkerjakan banyak orang, dan menyejahterakan masyarakat, serta menambah devisa negara. Selain itu, akuakultur juga berperan pada peningkatan pangan berprotein tinggi bagi masyarakat untuk mengentaskan persoalan kekurangan gizi stunting.
Oleh karena itu, Edhy mengajak peneliti, perekayasa, dan akuakulturist terus berinovasi untuk menciptakan keberhasilan pembenihan (breeding) lobster dan membuat indukan unggul sehingga ke depan budidaya lobster tidak lagi mengandalkan induk matang telur dari alam namun menggunakan indukan lobster dari hasil breeding yang terprogram. Dengan pertemuan iklim usaha akuakultur yang kondusif bisa terwujud.
"Strategi dan kerja sama yang baik antara pemerintah dan stakeholder dapat menunjang keberhasilan program ini," kata Edhy menambahkan.