Jumat 27 Dec 2019 12:35 WIB

Pengusaha Sebut Sektor Garmen di Jabar dalam Kondisi Berat

Sebanyak seratus perusahaan di Jabar mengajukan penangguhan UMK.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Sebanyak seratus perusahaan di Jabar mengajukan penangguhan UMK, terbanyak merupakan pabrik garmen. Foto: Buruh memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik garmen.
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Sebanyak seratus perusahaan di Jabar mengajukan penangguhan UMK, terbanyak merupakan pabrik garmen. Foto: Buruh memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik garmen.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat (Jabar) memastikan lebih dari 100 perusahaan khususnya pabrik  telah mengajukan penangguhan upah minimum kerja (UMK) 2020. Mayoritas perusahaan yang meminta penangguhan adalah pabrik garmen.

Menurut Sekretaris Jendral Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Rizal Tanzil, pihaknya selama ini sudah mengingatkan kepada pemerintah daerah maupun aliansi buruh bahwa kondisi perusahaan tekstil saat ini belum maksimal. Karena, perekonomian nasional maupun global pun masih tertahan dan berdampak pada pendapatan perusahaan tekstil.

Baca Juga

"Memang bagi industri garmen sangat berat dengan kondisi upah tahun 2020," ujar Rizal kepada wartawan, Jumat (27/12).

Rizal mengatakan, dengan kondisi seperti ini perusahaan yang melakukan penangguhan khusus di industri tekstil harus mengajak aliansi pekerjanya mendiskusikan kembali besaran upah yang bisa dibayarkan. Karena, meskipun sudah ada keputusan UMK 2020, kalau perusahaan tidak bisa menyesuaikan maka mereka akan mengajukan penangguhan upah sesuai yang diminta.

"Harus ada kesepatakan upah," katanya.

API Jabar pun, kata dia, khawatir dengan kondisi seperti sekarang dan tidak adanya solusi jangka panjang terkait penangguhan UMK yang terus berlangsung dalam beberapa tahun terakhir, maka banyak pabrik tekstil yang pindah ke provinsi lain seperti Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Tengah (Jateng). Karena, kondisi upah yang lebih rendah di dua provinsi tersebut jelas menggiurkan bagi para pelaku usaha.

"Bisa jadi semakin banyak yang pindah ke daerah itu," katanya.

Rizal mengatakan, UMK khusus padat karya sebenarnya perlu dibubuhkan dalam aturan gubernur. Sebab industri padat karya seperti perusahaan tekstil, sepatu, elektronik, atau makanan-minuman memiliki kebutuhan khusus menyesuaikan dengan pengeluaran dalam bentuk gaji untuk pekerja.

"Kalau hanya UMK berdasarkan regional itu kurang ideal. Memang UMK untuk padat karya itu harus diadakan," kata Rizal.

Rizal menilai, gaji untuk pekerja dalam sebuah industri padat karya tidak bisa naik tanpa ada perhitungan perusahaan yang bersangkutan. Sebab, gaji merupakan elemen penting dan salah satu yang utama agar operasional usaha tetap berjalan dan menghasilkan pendapatan.

Dengan demikian, kata dia, perundingan bipartid antara perusahaan dan aliansi buruh masih diperlukan. Jangan sampai hanya karena keinginan buruh untuk naik gaji tapi kondisi perusahaan tak sehat.

Khusus industri tekstil dan produk tekstil (TPT), kata dia, tahun ini salah satu yang terparah di mana produksi dalam negeri belum mampu tumbuh baik. Sehingga, pendapatan perusahaan pun minim.

Dengan kondisi ini, kata dia, tahun depan pun persaingan industri tekstil secara global masih sengit. Kenaikan UMK yang terlampau tinggi sudah pasti akan berdampak pada kenaikan harga produk.

"Nah sekarang kita sedang tidak bagus (bisnisnya) kalau upah naik tinggi, pribahasanya ini sudah jatuh tertimpa tangga," kata Rizal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement