REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Direktur Utama Asuransi Jiwasraya bercerita bagaimana ia menghadapi kondisi perusahaan selama menjabat pada 2018. Tanpa perlu memetakan persoalan, masalah yang ada di dalam perusahaan sudah langsung terlihat.
"Tidak usah dicari, masalahnya datang sendiri," katanya saat berbincang dengan media di Jakarta, Jumat (27/12).
Ia menceritakan saat menghentikan penjualan produk JS Saving Plan. Menurutnya, keputusan itu dibuat lantaran tidak punya pilihan lain karena produk akan terus gagal bayar.
"Kita harus perhatikan pencairan nasabah harus diutamakan, kita tidak mungkin investasi lagi," katanya.
Asmawi Syam adalah bankir yang 'terjebak' di industri nonbank. Karirnya menanjak dari bawah selama 37 tahun hingga menjabat Direktur Utama di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (Persero) pada 2015 hingga 2017.
Sebelum ditetapkan jadi Direktur PT Asuransi Jiwasyara (Persero) pada Mei 2018 oleh Menteri BUMN, Rini Soemarno kala itu, ia menjabat dulu 10 bulan di PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo). "Saat (dipindah-pindah) itu, saya merasa ini memang tugas, amanah, pun ketika diberhentikan pada November 2018 dan diangkat jadi Staf Ahli Menteri BUMN," katanya.
Asmawi menerima Surat Keputusan Menteri BUMN atas pengangkatan dirinya pada 18 Mei 2018. Namun ia efektif menjabat dan punya kuasa setelah lulus tes kelayakan OJK pada 27 Agustus 2018.
Dalam waktu dua bulan efektif itu, ia 'meledakkan' bom Jiwasraya. Asmawi mengatakan tidak punya pilihan, bom akan tetap meledak, hanya masalah waktu saja. Ada dorongan moral dan hati nurani yang membuatnya harus mengambil keputusan tersebut.
"Saat itu pikiran saya sederhana, kita tidak ada pilihan lagi, ini akan terus gagal bayar," katanya.
Pada Desember 2018, ekuitas Jiwasraya sudah minus Rp 10,20 triliun. Pada September 2019, minus terus melebar hingga Rp 23,92 triliun. Ini senada dengan pernyataan Asmawi, bahwa saat ia menjabat, sudah tidak ada lagi dana yang bisa diinvestasikan.
Selama ia di Jiwasraya, tidak pernah ada aktivitas investasi lagi. Saat melihat kondisi ganjil tersebut, ia meminta audit keuangan laporan tahun 2017 dari PriceWaterhouseCoopers (PWC) yang juga melakukan audit di masa sebelumnya.
Hasil audit tersebut menyebut laba bersih Jiwasraya hanya sebesar Rp 360 miliar. Padahal, direksi Jiwasraya sebelumnya mengklaim di media bahwa laba mencapai Rp 2,7 triliun.
Asmawi mengatakan dengan kondisi keuangan secara keseluruhan, ia dan direksi lain termasuk Hexana Tri Sasongko yang kini menjadi Dirut Jiwasraya melihat tidak ada kemampuan perusahaan untuk membayar klaim polis yang jatuh tempo. Ia intens berkomunikasi dengan Hexana yang juga masuk bersamaan dengan dirinya ke Jiwasraya sebagai Direktur Investasi dan Teknologi Informasi.
Direksi akhirnya memutuskan produk JS Saving Plan harus dihentikan. Ia meminta izin dari Dewan Komisaris dan Otoritas Jasa Keuangan hingga mendapat restu. Hingga akhirnya pada 10 Oktober 2018, bom itu meledak. Jiwasyara umumkan tidak mampu bayar polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp 802 miliar.