REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Hatta Ali telah menerbitkan 131 surat izin ke pengadilan untuk melaksanakan persidangan dengan hakim tinggal. Sebab, jumlah hakim tidak mencukupi apabila persidangan digelar secara majelis yang minimal terdiri dari tiga orang hakim.
"Jadi saya sudah mengeluarkan jumlahnya 131 untuk tiga lingkungan peradilan ini. Tetapi di dalam surat dispensasi bersidang dengan hakim tunggal saya tambahkan catatan di bawahnya, yakni apabila jumlah hakim sudah memenuhi maka otomatis akan bersidang dengan majelis hakim. Tidak perlu lagi dibatalkan (putusan dari hakim tunggal) karena akan memakan waktu yang lama," ujar Hatta di kantor MA, Jakarta Pusat, Jumat (27/12).
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah menambahkan dengan demikian 131 pengadilan yang tersebar di seluruh Indonesia mengalami kekurangan hakim. Menurut dia, rata-rata pengadilan memiliki tiga sampai empat hakim.
Jika pengadilan yang mempunyai tiga orang hakim saja kemudian di antaranya sakit atau hamil maupun melahirkan, maka tersisa dua hakim. Dengan demikian pengadilan tersebut tak bisa melaksanakan persidangan sehingga harus mengajukan izin ke MA untuk persidangan dengan hakim tunggal.
"Kita kekurangan seberapa itu masing-masing pengadilan berbeda. Jadi sekarang rata-rata di pengadilan kelas II itu ada tiga, ada empat. Kalau tinggal tiga salah satu sakit saja enggak bisa sidang apalagi melahirkan sampai tiga bulan," kata Abdullah kepada Republika.
Ia menjelaskan penempatan hakim berdasarkan analisis kebutuhan yang berbanding lurus dengan jumlah perkara yang diproses pengadilan tersebut. Ia mengatakan rata-rata yang kekurangan hakim berada di luar Pulau Jawa.
Namun, kata Abdullah, kebutuhan pengadilan umum berbeda dengan pengadilan agama. Hakim pengadilan agama bisa saja dapat menyelesaikan 50 perkara dalam satu hari. Satu perkara pun bisa segera diputus setelah melakukan satu sampai dua kali persidangan.
Akan tetapi pengadilan umum terutama pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) bisa saja memakan waktu satu hari untuk satu kali persidangan. Kemudian persidangannya pun bisa berkali-kali sebelum akhirnya diselenggarakan sidang pembacaan putusan.
Abdullah tak bisa memastikan jumlah ideal kebutuhan hakim untuk mengisi pengadilan yang tersebar di Indonesia. Namun menurut dia, sebanyak 1.585 orang calon hakim yang akan segera menyelesaikan program pendidikan dan pelatihan calon hakim terpadu pun belum mencukupi kebutuhan tersebut.
"Masih lama 2020 nanti baru bisa jadi hakim. Belum cukup juga karena satu tahun berapa hakim matinya sekitaran 50 orang, yang pensiun. Jadi yang pensiun dan mati rata-rata sekitar 200 orang tiap tahun," tutur dia.
Ia menjelaskan calon hakim dari penjaringan calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada 2017 harus menjalani pendidikan selama dua tahun. Para calon hakim yang menyelesaikan pendidikan dan pelatihan dengan baik kemudian diusulkan sebagai hakim untuk mengisi formasi di pengadilan yang jumlah hakimnya tidak memadai, khususnya pengadilan yang baru beroperasi.
Penerimaan seleksi calon hakim itu dilakukan sejak 10 tahun yang lalu karena adanya moratorium. Ia mengatakan pemerintah pun baru akan menyetujui usulan penerimaan seleksi calon hakim jika calon hakim yang sebelumnya telah selesai menempuh pendidikan dan pelatihan menjadi calon hakim.
"Sudah 10 tahun moratorium tidak ada penerimaan selama 10 tahun penerimaan hakim," ungkap dia.