Sabtu 28 Dec 2019 09:56 WIB

MK Korsel Tolak Banding Wanita Penghibur Jepang Zaman Perang

MK Korsel menolak banding sekelompok perempuan yang dipaksa bekerja di rumah militer

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Christiyaningsih
MK Korsel menolak banding sekelompok perempuan yang dipaksa bekerja di rumah militer di zaman perang. Ilustrasi.
MK Korsel menolak banding sekelompok perempuan yang dipaksa bekerja di rumah militer di zaman perang. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Mahkamah Konstitusi Korea Selatan pada Jumat (27/12) menolak banding oleh sekelompok perempuan yang dipaksa untuk bekerja di rumah pelacuran militer masa perang Jepang. Permohonan banding tersebut untuk menjatuhkan perjanjian yang ditandatangani oleh kedua negara untuk menyelesaikan klaim atas pelecehan tersebut.

Putusan itu diperkirakan akan berdampak kecil pada perjanjian 2015 karena telah secara efektif ditinggalkan oleh Presiden Korea Selatan Moon Jae-in. Presiden Moon menyebut perjanjian itu sangat cacat dan tidak memadai untuk menyelesaikan masalah yang telah bertahun-tahun menjadi sumber dendam antara kedua negara tetangga.

Baca Juga

Presiden Mahkamah Konstitusi Yoo Nam-seok mengatakan perjanjian itu adalah perjanjian politik yang mencoba menyelesaikan masalah wanita penghibur. Tidak seperti perjanjian antara dua negara, perjanjian tentang wanita penghibur tersebut tidak menciptakan tanggung jawab hukum di pihak pemerintah.

Wanita penghibur adalah eufemisme bagi ribuan gadis dan wanita. Kebanyakan dari mereka orang Korea yang dipaksa untuk bekerja di rumah bordil Jepang sebelum dan selama Perang Dunia Kedua, ketika Jepang menduduki Korea.

"Tidak dapat dikatakan bahwa hak-hak para korban militer Jepang dilanggar oleh perjanjian ini," kata Yoo dalam putusan pengadilan.

Kepahitan atas pendudukan Jepang di semenanjung Korea adalah pengaruh besar pada hubungan mereka dan telah menjadi pusat dendam tahun ini yang membuat hubungan kedua negara menurun ke titik yang terburuk dalam beberapa dekade.

Perjanjian 2015, yang dicapai oleh pendahulu Moon, Park Geun-hye, dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, disambut oleh Amerika Serikat pada saat itu sebagai langkah penting menuju rekonsiliasi. Tetapi wanita penghibur yang selamat melihatnya sebagai tidak adil dan petisi konstitusi diajukan oleh 29 dari mereka dan 12 dari keluarga mereka.

Mereka berargumen bahwa itu melanggar hak-hak mereka karena mereka tidak diajak berkonsultasi. Mereka tidak dilibatkan ketika pemerintah setuju untuk menutup masalah tersebut sebagai "diselesaikan secara ireversibel" dengan permintaan maaf oleh Jepang dan dana satu miliar yen (Rp 128 miliar) untuk mengompensasi para wanita.

"Ini bisa menjadi kesempatan untuk mengatasi rasa sakit mereka. Sangat mengecewakan bahwa Mahkamah Konstitusi gagal untuk menutup luka mereka," kata Rhee Dong-joon, seorang pengacara yang mewakili para wanita.

Keputusan itu muncul setelah Moon dan Abe mengadakan pembicaraan untuk pertama kalinya dalam 15 bulan pada Senin dan menekankan perlunya meningkatkan hubungan. Hal ini setelah periode terburuk ketegangan antara kedua negara dalam beberapa dasawarsa ketika kemarahan Korsel atas perilaku perang Jepang tumpah ke dalam hubungan perdagangan.

Tidak ada yang tahu berapa banyak orang Korea yang dipaksa bekerja di rumah pelacuran militer Jepang. Aktivis Korea Selatan mengatakan mungkin ada sebanyak 200 ribu korban. Tetapi hanya beberapa dari mereka yang pernah mengatakan tentang pelecehan yang mereka alami di tangan pasukan Jepang.

Sejak awal 1990-an, hampir 250 wanita maju untuk membicarakan pengalaman mereka. Hanya 20 dari mereka yang selamat.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement