REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Sebuah kasus kekerasan seksual yang dilakukan aktivis antikorupsi di Kota Malang menyeruak. Aktivis berinisial AF dianggap telah melakukan pemaksaan hubungan seksual terhadap dua perempuan, X dan Y.
Mengenai isu tersebut, Badan Pekerja Malang Corruption Watch (MCW) M Fahrudin menegaskan lembaga pada dasarnya melawan segala tindakan pelecehan seksual. Pelaku patut dihukum dan menjadi musuh bersama.
"Akan tetapi, dalam proses membuktikan kebenarannya harus dilakukan dengan syarat-syarat prosedur dan skema yang jelas. Bukan dengan cara sporadis dan hanya berdasarkan informasi dari pihak lain yang sifatnya testimonium de auditu," ujar Fahrudin.
MCW saat ini tengah melakukan proses investigasi internal terkait kasus yang dialami salah satu anggotanya. Lembaga perlu mendalami kasus tersebut secara hati-hati dan sebaik-baiknya.
Menurut Fahrudin, lembaga sebenarnya menghormati segala upaya yang dilakukan para pendamping korban kekerasan seksual. Namun hingga saat ini, timnya belum mendapatkan informasi valid dan memadai dari pihak berkompeten. Dalam hal ini untuk memberikan informasi yang sebenarnya sehingga masih terus mengupayakan bertemu dengan pendamping maupun korban.
Terkait tuntutan pemberhentian anggota MCW, Fahrudin mengaku lembaga masih perlu melakukan pendalaman kasus terlebih dahulu. Pemberhentian ini memerlukan mekanisme internal organisasi. "Selain itu, kami akan menyelesaikan kasus ini melalui mekanisme (perspektif perlindungan korban) yang tepat," ucapnya.
Di kesempatan lain, Pendamping Korban Kekerasan Seksual, Salma Safitri mengaku sangat menyayangkan tuduhan yang diungkapkan MCW. Menurutnya, para korban telah memiliki bukti berupa dokumen percakapan perihal pemaksaan penetrasi dan berbagai eksploitasi seksual. Bahkan, kejadian ini tak hanya diakui kebenarannya oleh korban tapi juga pelaku.
"Pelaku sempat menyatakan dirinya bersalah. Korbannya lebih dari satu orang dan siap menanggung konsekuensinya," jelas Salma saat dikonfirmasi Republika, Jumat (27/12).
Pengakuan pelaku dan korban telah didengar langsung, baik oleh pendamping maupun MCW. Di pertemuan tersebut, pelaku sempat berjanji akan menanggung seluruh ganti rugi korban dan bertanggung jawab. Bahkan, AF siap mundur dari lembaga tempat ia bekerja walau ternyata itu semua bohong.
Menurut Salma, situasi ini dapat terjadi karena MCW sejak awal keberatan untuk memenuhi tuntutan korban memecat pelaku dari lembaga. AF disebut-sebut sebagai SDM unggul yang sulit digantikan di MCW.
Hal yang paling disayangkan adalah ketika koordinator MCW menilai kasus tersebut sebagai masalah pribadi. Masalah ini dianggap tidak ada hubungannya dengan kelembagaan. Padahal, tim pada dasarnya tidak ada niat mendiskreditkan MCW dengan kasus tersebut.
"Tidak ada upaya mendiskreditkan MCW, itu hanya tuduhan yang tidak proporsional, setingkat dengan 'nama baik kampus' ketika lembaga tidak mampu menciptakan ruang aman bagi perempuan. Justru MCW yang mencoreng integritas mereka sendiri," terangnya.
Salma mengungkapkan pendamping masih mengupayakan agar masalah tersebut dapat diselesaikan. Dalam hal ini melalui jalur non litigasi dengan mediasi yang berimbang. Hal ini diperlukan mengingat korban menderita depresi berat pascarangkaian kekerasan seksual.
"Dan tentu saja kami sudah melibatkan Women Crisis Center untuk melihat kondisi psikologis korban. Tidak seperti pihak MCW yang meragukan kondisi psikis korban tapi membantu untuk mencarikan akses agar dapat visum psikologis saja tidak," ujarnya.