Ahad 29 Dec 2019 11:12 WIB

Pembunuhan Massal AS Terbanyak Terjadi pada 2019

Sepanjang 2019, ada 41 peristiwa pembunuhan massal di AS.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Penembakan massal guncang AS
Foto: Republika
Penembakan massal guncang AS

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah laporan yang digagas beberapa media menunjukan ada lebih banyak pembunuhan massal pada tahun 2019 di Amerika Serikat (AS). Secara keseluruhan ada 41 pembunuhan massal dengan korban hingga empat orang lebih tidak termasuk pelaku.

Sebuah database yang dikumpulkan oleh The Associated Press, USA Today dan Northeastern University menunjukkan dari total seluruh pembunuhan massal adalah 33 penembakan. Pembunuhan massal ini pun menghilangkan nyawa sebanyak 210 orang.

Baca Juga

Namun, penelitian lain menyatakan, jumlah terbanyak terjadi tahun 1970-an. Pembunuhan terbanyak kedua dalam setahun sebelum 2019 adalah 38 di tahun 2006.

Sebagian besar pembunuhan massal hampir tidak menjadi berita nasional, gagal beresonansi di antara masyarakat umum. Hal ini karena peristiwa tidak terkonsumsi luas karena tidak terjadi di tempat-tempat umum seperti pembantaian di El Paso dan Odessa di Texas, Dayton di Ohio, Pantai Virginia di Virginia, dan Jersey City di New Jersey.

Mayoritas pembunuhan melibatkan orang-orang yang saling kenal, seperti sengketa keluarga, narkoba, kekerasan geng, atau orang-orang marah terhadap rekan kerja atau kerabat. Dalam banyak kasus, pemicu pelaku melakukan pembunuhan tetap menjadi misteri.

Peristiwa pertama terjadi 19 hari memasuki tahun baru ketika seorang pria menggunakan kapak untuk membunuh empat anggota keluarga termasuk putrinya yang masih bayi. Lima bulan kemudian, 12 orang tewas dalam penembakan di tempat kerja di Virginia. Dua puluh dua lainnya meninggal di Walmart di El Paso pada bulan Agustus.

Pada peristiwa pertama, seorang pria berusia 42 tahun mengambil kapak dan menikam ibu, ayah tiri, pacar, dan anak perempuannya yang berusia 9 bulan di Clackamas County, Oregon. Dua orang, teman sekamar dan seorang gadis 8 tahun berhasil melarikan diri dan polisi dapat menembak pelaku.

Pelaku sesekali berurusan dengan polisi selama bertahun-tahun, tetapi, alasan yang mendorongnya untuk menyerang keluarganya tetap tidak diketahui. Insiden ini pun salah satu dari 18 pembunuhan massal di mana anggota keluarga dibunuh, dan satu dari enam yang tidak melibatkan senjata.

"Apa yang membuat ini lebih luar biasa adalah bahwa pembunuhan massal naik pada saat pembunuhan umum, pembunuhan keseluruhan, turun. Sebagai persentase pembunuhan, pembunuhan massal ini juga menyebabkan lebih banyak kematian," kata Kriminolog dan profesor di Metropolitan State University di Minnesota James Densley.

Densley percaya kondisi itu terjadi sebagian merupakan produk sampingan dari waktu marah dan frustras" yang orang rasakan. Dia mengatakan, kejahatan cenderung berlangsung secara bergelombang tahun 1970-an dan 1980-an melihat sejumlah pembunuh berantai. Sedangkan tahun 1990-an ditandai dengan penembakan di sekolah dan penculikan anak dan awal 2000-an didominasi oleh kekhawatiran akan terorisme.

"Ini tampaknya menjadi waktu penembakan massal," kata Densley.

Densley dan James Alan Fox yang merupakan kriminolog dan profesor di Northeastern University menyatakan kekhawatiran tentang efek penularan. Kasus yang terjadi fokus pada pembunuhan massal yang memicu pembunuhan massal lainnya.

"Ini masih kejadian langka. Jelas risikonya rendah tetapi ketakutannya tinggi. Apa yang memicu penularan adalah rasa takut," kata Fox.

Selain korban jiwa, pembunuhan massal pun memberikan korban luka, baik fisik dan jiwa. Laporan kerja sama itu tidak mengkaji masalah tersebut, tetapi di antara tiga penembakan massal pada bulan Agustus saja, lebih dari 65 orang terluka.

Salah satu korban yang terperangkap dalam baku tembak penembakan yang terjadi di Texas Barat adalah Daniel Munoz dari Odessa. Dia sedang dalam perjalanan untuk bertemu seorang teman di sebuah bar ketika melihat seorang pria bersenjata dan laras senjata api.

"Anda tidak bisa selalu menganggap Anda aman. Pada saat itu, begitu penembakan El Paso terjadi, saya merasa gelisah," kata pria berusia 28 tahun ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement