REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Para pengunjuk rasa Irak menerobos ladang minyak Nassiriya di Irak Selatan, pada Sabtu (28/12) waktu setempat. Mereka kemudian memaksa karyawan memutus aliran listrik dari stasiun kendali.
Dilansir Al Arabiya, akibat aksi pendemo tersebut ladang minyak tidak bisa beroperasi hingga pemberitahuan lebih lanjut. Ladang minyak tersebut menghasilkan 90 ribu barel per hari minyak mentah.
Para pengunjuk rasa memaksa penutupan ladang minyak dengan berteriak, "Tidak ada tanah air, tidak ada minyak," atau "Jika kita tidak memiliki tanah air, kita tidak punya minyak."
Pekikan "Kami menginginkan tanah air" telah menjadi semboyan protes yang telah melanda Irak sejak 1 Oktober lalu. Para pengunjuk rasa menuntut perbaikan sistem politik yang sangat korup sehingga membuat sebagian besar rakyat Irak terbelenggu dalam kemiskinan yang nyata.
Sejak aksi protes mendera, 450 orang telah terbunuh. Kendati demikian, insiden penutupan kilang minyak mentah Irak tersebut merupakan pertama kalinya dilakukan. Sebelumnya, para pengunjuk rasa hanya membloir pintu masuk ke kulang minyak dan pelabuhan.
Ekonomi Irak bergantung pada ekspor minyak yang menghasilkan lebih dari 90 persen pendapatan untuk produsen terbesar kedua OPEC. Tidak ada perusahaan asing yang beroperasi di ladang minyak.
Para pengunjuk rasa menuntut penghapusan seluruh elite penguasa yang dianggap memperkaya diri sendiri dari negara. Pendemo juga menuntut dihilangkannya kekuatan asing, terutama Iran karena banyak rakyat Irak merana dalam kemiskinan tanpa pekerjaan, perawatan kesehatan, atau pendidikan. Mereka juga menuntut penunjukan perdana menteri tanpa afiliasi partai.
Presiden Irak Barham Salih pada Kamis kemarin menolak untuk menunjuk calon blok parlemen yang didukung Iran untuk perdana menteri. Dia mengatakan, lebih suka mengundurkan diri daripada menunjuk seseorang ke posisi yang akan ditolak oleh pengunjuk rasa karena akan memperpanjang kebuntuan politik selama berminggu-minggu.