REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Puluhan pengunjuk rasa berkumpul di luar rumah perdana menteri (PM) baru Lebanon, Hassan Diab di Beirut, Sabtu (28/12) waktu setempat. Mereka menyerukan pengunduran diri PM yang menjabat kurang dari 10 hari setelah ia ditunjuk.
Lebanon mengalami pemerintahan tanpa kabinet dalam cengkraman krisis ekonomi yang semakin terasa. Hal itu terjadi setelah gerakan protes selama dua bulan yang memaksa mantan PM Saad al-Hariri mundur pada 29 Oktober lalu.
Aksi unjuk rasa terus berlanjut setelah Hariri mengundurkan diri. Sementara, partai-partai politik bernegosiasi sebelum mencalonkan Diab, yang merupakan seorang profesor dan mantan menteri pendidikan. Akhirnya pada 19 Desember Diab resmi menggantikan Hariri.
Mengusung tuntutan pengunjuk rasa, Diab berjanji untuk membentuk pemerintahan para ahli independen dalam waktu enam pekan. Kendati demikian, para pengunjuk rasa tidak yakin dengan janji Diab.
"Kami di sini untuk menjatuhkan Hassan Diab. Dia tak mewakili kita. Dia salah satu dari mereka," ujar salah satu pengunjuk rasa dilansir Al Arabiya, Ahad (29/12).
Salah satu pengunjuk rasa lain, Lina mengatakan, revolusi negara harus menunjuk perdana menteri, bukan dari mereka para elit penguasa. Para pengunjuk rasa secara kolektif membenci para elit penguasa di negara itu.
Dalam pidatonya beberapa waktu lalu, Diab (60 tahun) menyebut tuntutan pengunjuk rasa sah-sah saja, tetapi dia meminta mereka memberinya kesempatan untuk membentuk pemerintahan baru yang luar biasa.
"Kami bersedia memberinya kesempatan, tapi setidaknya biarkan kami memberinya peta jalan," kata Lina. "Nama-nama itu tak masalah bagi kami, kami ingin rencana kebijakan, apa programnya?" ujarnya menambahkan.
Para pengunjuk rasa mengutuk partisipasi Diab sebagai PM dalam pemerintahan yang dianggap korup. Dukungan yang diberikan kepadanya oleh gerakan kuat Syiah Hizbullah juga membuat marah banyak pengunjuk rasa dan pro-Hariri Sunni.
Para pengunjuk rasa juga berkumpul di Tripoli, kota mayoritas Sunni utara, Sabtu (28/12). Protes dan kebuntuan politik telah membawa Lebanon ke krisis ekonomi terburuk sejak perang saudara 1975-1990. Komunitas internasional telah mendesak kabinet baru untuk dibentuk dengan cepat guna melaksanakan reformasi ekonomi dan membuka kunci bantuan internasional.