REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Umum PBNU, almarhum KH. Idham Chalid merasakan betul penderitaan dalam proses perjuangan melawan penjajah pada era kemerdekaan. Ia pernah mengalami pedihnya siksa saat ditangkap oleh Belanda dan dijebloskan ke dalam penjara. Karena itu, sangat pantas gelar pahlawan diberikan kepadanya.
Siksaan kaum penjajah itu pun berdampak pada pembengkokan tulang yang dialaminya setelah usia senja. Hal ini diungkapkan Pak Idham dalam bukunya yang berjudul “Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah”.
Dalam buku yang disunting Arief Mudatsir tersebut, Pak Idham mengaku pernah diinterogasi terkait keberadaan teman seperjuangannya dari Banjar, Hasan Basri. Pasalnya, Hasan Basir pernah satu almamater dengannya saat belajar di Pondok Pesantren Gontor Ponorogo.
Ketika ditanya Belanda, Pak Idham pun memberikan jawaban yang diplomatis bahwa banyak temannya yang bernama Hasan Basri. Tanpa mendapat jawaban yang pasti, panjajah itu pun melakukan penyiksaan terhadap Pak Idham.
Meskipun tubuhnya lemah dan matanya tidak dapat melihat karena siksaan kaum pejajah, Pak Idham terus memanjatkan doa dan melaksanakan shalat di dalam penjara. Di dalam penjara, bahkan Pak Idham melakukan shalat hajat 41 kali atau 82 rakaat, dan ditambah shalat witir tiga rakaat.
Perjuangan Pak Idham pantas untuk diteladani bagi generasi muda sekarang, baik pada masa penjajahan maupun saat terjun ke dunia politik. Pak Idham memang bukan sosok yang berasal dari kota besar, ia hanya lah orang kampung yang merintis karirnya dari tingkat paling bawah.
Namun, karena gigih dalam berjuang dan memilik semangat dalam belajar dan menempa diri, Pak Idham akhirnya mampu mencapai puncak kepemimpinan nasional Kesungguhannya dalam belajar juga mampu membuatnya memiliki peran ganda sebagai ulama dan politisi.