Rabu 01 Jan 2020 05:05 WIB

Spotify Tangguhkan Iklan Politik untuk Lawan Berita Palsu

Layanan streaming musik Spotify ikut langkah Twitter menangguhkan iklan politik.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/dpa/AA/A. Elshamy
picture-alliance/dpa/AA/A. Elshamy

Layanan streaming musik paling populer di dunia, Spotify, akan menangguhkan iklan politik pada tahun 2020. Spotify menjadi salah satu paltform digital terbaru yang bergabung dalam perjuangan melawan berita palsu di ranah online.

Jumat (27/12), juru bicara Spotify mengaku bahwa mereka membuat keputusan tersebut karena saat ini tidak memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan menyaring informasi palsu. Penangguhan akan mulai berlaku pada awal tahun 2020.

Spotify menggunakan model platform dua tingkat dengan 130 juta penggunanya yang berlangganan versi tak berbayar, dimana iklan akan terdengar di sela-sela pengguna saat mendengarkan musik. Namun iklan tidak berlaku kepada pelanggan Spotify yang versi berbayar.

Penangguhan ini akan berlaku untuk iklan politik baik di Spotify eksklusif maupun podcast asli.

"Pada saat ini, kami belum memiliki tingkat ketahanan yang diperlukan dalam proses, sistem, dan fitur kami untuk memvalidasi dan meninjau konten ini (iklan). Kami akan meninjau kembali keputusan ini sambil terus mengembangkan kemampuan kami," terang Spotify dalam pernyataan resminya.

Tidak diketahui berapa banyak pendapatan yang diperoleh Spotify dari iklan politik, dan mereka hanya menerima iklan politik di AS. Namun, beberapa analis politik menilai bahwa platform tersebut merupakan sarana penting untuk menjangkau pemilih muda jelang pemilu AS di akhir tahun 2020 mendatang.

Advertising Age, yang pertama kali memberitakan keputusan Spotify, mencatat bahwa calon presiden dari Partai Demokrat Bernie Sanders dan Komite Nasional Republik telah menjadi pengiklan di Spotify.

Baca juga: Pelaku dan Penyebar Hoaks Haruskah Diganjar Hukuman Penjara?

Bagaimana cara menghentikan penyebaran berita palsu?

Saat ini pengawasan platform digital terus ditingkatkan sebagai respon tekanan di seluruh dunia atas maraknya berita palsu yang disebarkan melalui web iklan di situs platform-platform tersebut. Yang paling terakhir, Singapura telah bergabung dengan Jerman, Prancis, dan Malaysia di antara negara-negara lain untuk membuat undang-undang melawan berita palsu yang disebarkan secara online.

Disinformasi digital telah menjadi topik hangat menjelang pemilu AS 2020 mendatang diketahui berita palsu terbukti memberi pengaruh dalam beberapa pemilihan nasional di seluruh dunia, termasuk pemilu AS tahun 2016 silam. Saat ini, di AS tidak ada undang-undang khusus terkait penyebaran berita palsu secara online.

Meskipun demikian, situs micro-blogging Twitter berkomitmen untuk melarang sebagian besar iklan politik di situsnya dan Google mengumumkan pada November lalu bahwa mereka akan membatasi para penggunanya dengan iklan politik, didasari pada riwayat penggunaan data, atau afiliasi politik si pengguna di lintas platformnya, termasuk Youtube.

Sementara jejaring sosial Facebook tetap melawan arus dengan tidak akan memantau pidato politik maupun iklan politik. Facebook mengklaim bahwa mengidentifikasi dan menyaring berita palsu merupakan tanggung jawab pengguna serta media yang merilis berita tersebut.

Baca juga: Pakar: Fungsi Buzzer Bukan Untuk Menyebarkan Berita Bohong

rap/yp (Reuters, AFP)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement