REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun babi tanah hampir usai. Asa melihat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup tahun dengan manis, tak jadi nyata. IHSG akhir tahun justru terkoreksi, berada di zona merah.
Senin (30/12) sore, indeks menyudahi perjalanan di sepanjang tahun ini di level 6.299,54. Level tersebut naik 105,04 poin dibandingkan posisi indeks pada penutupan perdagangan tahun lalu 6.194,5. IHSG setidaknya masih tumbuh 1,7 persen (year to date).
Berdasarkan data RTI Infokom, sepanjang 2019, indeks sempat menyentuh level terendah 5.767,4 hingga level tertinggi 6.636,33. Performa indeks sendiri sebenarnya tidak terlalu menggembirakan, terutama pada enam bulan terakhir dimana terjadi koreksi 0,84 persen.
Namun IHSG kemudian perlahan kembali membaik hingga dapat tumbuh 5,82 persen dalam sebulan terakhir. Sementara itu, posisi beli asing bersih (net foreign buy) mencapai Rp44,63 triliun sepanjang 2019.
Sebelumnya, IHSG bahkan diproyeksikan akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Bahana Sekuritas pada pertengahan November lalu sempat merevisi proyeksi IHSG akhir tahun ini dari semula 6.560 menjadi 6.085 usai mengamati kinerja emiten hingga kuartal III-2019 yang tercatat cukup rendah. Dari pantauan Bahana terhadap 100 perusahaan tercatat di bursa, perolehan laba bersih negatif sebesar 4,2 persen, lebih rendah dari perkiraan Bahana yang memprediksi akan tumbuh positif 9 persen.
Seorang karyawan mengikuti prosesi penutupan perdagangan saham 2019 di gedung Bursa Efek Indonesia Jakarta, Senin (30/12/2019).
Sentimen perang dagang antara Amerika Serikat dan China tampak betul memengaruhi pergerakan indeks. IHSG pun hanya tumbuh tipis, jika tidak ingin disebut stagnan. Ini terdampak ekonomi domestik yang juga belum mampu tumbuh lebih tinggi dari kisaran 5 persen.
Kinerja IHSG masih lebih baik dibandingkan indeks lain di Asia Tenggara. Di antara negara anggota, Indonesia tumbuh tinggi keempat setelah Vietnam, Singapura dan Filipina. Bursa Vietnam tumbuh 7,55 persen, Singapura tumbuh 5,2 persen dan Filipina tumbuh 4,68 persen.
Sementara, Thailand hanya naik 1,02 persen. Bahkan, indeks Malaysia terkoreksi 5,3 persen (ytd). Indeks Laos lebih menyedihkan, terkoreksi hingga 13 persen.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi mengakui, tahun 2019 merupakan tahun yang penuh dinamika dan memiliki sejumlah tantangan sehingga berdampak terhadap kinerja perusahaan tercatat di BEI maupun terhadap pergerakan IHSG di sepanjang tahun ini. Kendati demikian, pada tahun ini, terdapat 76 pencatatan efek baru di BEI atau melebihi dari target 75 pencatatan efek baru yang direncanakan. Untuk pencatatan saham baru atau IPO saham sendiri sebanyak 55 perusahaan tercatat dengan total pengumpulan dana sekitar Rp 14,7 triliun.
Meski jumlah emiten baru tahun ini sama dengan tahun sebelumnya, BEI tetap bangga dan menyebut pencapaian tersebut sebagai sesuatu yang luar biasa karena menjadi yang tertinggi di antara bursa-bursa di kawasan Asia Tenggara dan menempati peringkat tujuh di dunia. Total jumlah perusahaan tercatat saham di BEI di penghujung tahun 2019 pun mencapai 668 perusahaan.
Sedangkan untuk aktivitas pencatatan efek di BEI di 2019, diikuti oleh 14 pencatatan Exchange Traded Fund (ETF) baru, dua Efek Beragun Aset (EBA), dua Obligasi Korporasi Baru (diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat yang baru pertama kali mencatatkan efeknya di bursa), dua Dana Investasi Real Estate Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (DIRE-KIK) dan satu Dana Investasi Infrastruktur Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (DINFRA).
Aktivitas perdagangan BEI di 2019 juga mengalami peningkatan yang tercermin dari kenaikan rata-rata frekuensi perdagangan yang tumbuh 21 persen menjadi 469 ribu kali per hari dan menjadikan likuiditas perdagangan saham BEI lebih tinggi diantara bursa-bursa lainnya di kawasan Asia Tenggara. Pada periode yang sama, Rata-rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) turut meningkat 7 persen menjadi Rp 9,1 triliun dibandingkan tahun 2018 yang sebesar Rp 8,5 triliun.
Sepanjang 2019, jumlah investor saham juga meningkat 30 persen menjadi 1,1 juta investor saham berdasarkan Single Investor Identification (SID). Sampai saat ini jumlah total investor di pasar modal meliputi investor saham, reksa dana, dan surat utang telah mencapai 2,48 juta investor (SID) atau naik lebih dari 50 persen dari 2018 yakni sebanyak 1,62 juta investor.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun memberikan apresiasi kepada BEI beserta lembaga penunjang pasar modal lainnya meski indeks akhir tahun ditutup dengan pelemahan. Menurutnya, tahun ini merupakan tahun yang sangat berat bagi pelaku ekonomi, karena ada perang dagang antara AS dan China sehingga memang membutuhkan usaha yang lebih besar untuk mendorong kinerja bursa.
Mantan Direktur Eksekutif Bank Dunia itu pun mengapresiasi IHSG yang masih mampu tumbuh secara positif, meski tipis, di tengah bursa efek negara lain yang mencatatkan pertumbuhan negatif. Menurutnya, pasar modal Indonesia bisa tumbuh menjadi pasar modal yang lebih baik apabila reputasi dan kredibilitas dari regulator maupun Organisasi Regulator Mandiri (Self-Regulatory Organizaion/SRO) bisa berjalan efektif.
Seorang karyawan mengikuti prosesi penutupan perdagangan saham 2019 di gedung Bursa Efek Indonesia Jakarta, Senin (30/12/2019).
Sri Mulyani berharap sinergi tersebut dapat terus dilakukan agar pasar modal Indonesia bisa menghasilkan kinerja yang lebih baik pada tahun berikutnya dan pasar modal dapat menjadi tempat investasi yang betul diharapkan oleh seluruh masyarakat. Selain itu, ia berharap pasar modal dapat ikut berperan serta dalam pembangunan infrastruktur di Tanah Air mengingat besarnya biaya yang dibutuhkan sehingga pendanaan melalui instrumen pasar modal sangat diperlukan.
Wanita yang akrab dipanggil Ani itu juga berharap komunitas pasar modal bisa terus mengembangkan inovasi dalam regulasi di pasar modal. Pelaku pasar modal juga bisa berkontribusi untuk lebih atraktif dalam menarik para investor serta melakukan inovasi pada layanan dan produk sehingga reputasi pasar modal Indonesia menjadi lebih baik.
"Kita tidak ingin perusahaan yang baik akhirnya listed-nya tidak di Indonesia karena mereka tidak percaya dengan pasar modal kita," katanya.
Senada dengan Menkeu, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengatakan industri pasar modal yang tumbuh positif selama tahun 2019 menandakan kepercayaan investor yang tinggi kepada fundamental dan prospek ekonomi Indonesia. "Tahun 2019 kita tahu tidak mudah, banyak hal secara global terjadi tidak mendukung pertumbuhan ekonomi tapi untuk pasar modal, kami masih bisa melihat kinerjanya stabil," katanya.
Ia juga berharap capaian pada 2019 bisa menjadi katalis positif bagi pasar modal pada 2020 mendatang. Selain itu, pasar modal juga dapat berkontribusi dalam mendorong kelanjutan pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari lima program prioritas pemerintah periode 2019-2024.