REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah dinilai kurang memperhatikan pemangku kepentingan keselamatan sektor transportasi darat, sehingga kecelakaan di moda angkutan ini terus terjadi dan memakan korban cukup besar.
Hal itu dikatakan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur Bambang Haryo Soekartono, menanggapi maraknya kecelakaan transportasi darat sepanjang tahun ini, baik angkutan penumpang maupun barang.
Berdasarkan data Polri, jumlah kecelakaan lalulintas sepanjang 2019 berjumlah 107.500 kasus atau naik 3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya 103.672 kasus. Polri menyebut faktor dominan kecelakaan disebabkan kesalahan manusia (human error)
Menjelang akhir 2019 saja masih terjadi dua kejadian fatal dengan korban jiwa cukup banyak, yaitu kecelakaan bus Sriwijaya di Sumatra Selatan yang menewaskan 35 orang dan kecelakaan truk trailer di Pasuruan, Jawa Timur, yang merenggut tujuh nyawa.
“Pemerintah selalu mengambinghitamkan pengusaha angkutan setiap terjadi kecelakaan. Padahal, kecelakaan di Indonesia umumnya lebih disebabkan faktor human error, kendaraan, dan masalah infrastruktur,” ungkapnya, Selasa (31/12).
Menurut dia, ketiga faktor itu merupakan tanggung jawab pemerintah. Sebab, human error dipengaruhi kualitas sumber daya manusia yang distandardisasi pemerintah, seperti melalui penerbitan SIM, uji kompetensi pengemudi, dan rekruitmen PNS.
Alat transport atau kendaraan juga diawasi pemerintah melalui sertifikasi uji tipe, uji kir, dan standarisasi pelayanan. “Jangan selalu menyalahkan pengusaha angkutan karena mereka hanya ikuti standar dan prosedur yang ditetapkan pemerintah. Apalagi mereka bisa diperiksa setiap saat oleh regulator,” ujarnya.
Terkait dengan masalah infrastruktur, Bambang Haryo menilai pemerintah kurang memperhatikan jalan nasional antarprovinsi karena terlalu memprioritaskan pembangunan jalan tol.
“Semua jalan nasional tidak layak dan banyak yang rusak, tidak steril karena banyak lalu-lalang orang dan bangunan liar di tepi jalan, rambu-rambu dan penerangan jalan minim, sempit, banyak persimpangan dalam satu jalur dan perlintasan sebidang,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Bambang Haryo, fasilitas transportasi seperti terminal tipe A dan jembatan timbang banyak yang tidak difungsikan.
Padahal, pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan telah mengambil alih terminal tipe A dan jembatan timbang dari pemerintah daerah sejak beberapa tahun lalu.
“Terminal memiliki fungsi kontrol terhadap bus dan penumpangnya. Begitu juga jembatan timbang untuk mencegah truk overload. Kalau tidak difungsikan, sama saja Kemenhub menebar bibit-bibit kecelakaan,” ujarnya.
Hingga kini, ungkap Bambang Haryo, hanya kurang dari 40 persen jembatan timbang yang difungsikan Kemenhub dari sekitar 150 jembatan timbang di seluruh Indonesia.
“Ini berbahaya sekali karena truk overload menjadi tidak terkendali. Padahal sudah banyak terjadi kecelakaan akibat truk overload, seperti di tol Cipularang dan Pasuruan belum lama ini,” kata dia.
Bambang Haryo juga mengkritisi peran penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kemenhub dalam mencegah dan menyidik kasus kecelakaan. Dia menilai PPNS selama ini kurang diberdayakan, bahkan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
“Seharusnya Kemenhub menjadi leading sector dalam penyidikan kasus kecelakaan, bukan kepolisian. Kasus kecelakaan transportasi itu menganut asas lex specialist, sehingga peran PPNS sangat penting,” jelasnya.
Dia menilai Menteri Perhubungan kurang memahami tugas dan kewenangan PPNS sehingga terkesan memerintahkan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk menyelidiki kasus kecelakaan.
“KNKT itu bukan penyidik, melainkan investigator. Hasil investigasinya bersifat no blame dan tidak dapat dijadikan dasar hukum kecuali sebagai rekomendasi. Hasil penyidikan PPNS yang bisa dijadikan dasar hukum,” papar Bambang Haryo yang pernah bertugas sebagai senior investigator KNKT hingga 2014.
Dia menilai pemerintah kurang peduli terhadap nasib pengusaha angkutan dan penumpang, terbukti tarif bus belum naik sejak 2012.
Padahal, tarif adalah bagian utama dari pendapatan untuk menutup biaya operasional dalam upaya menjamin keselamatan dan kenyamanan transportasi.
Dia menjelaskan, seperti juga dialami usaha penyeberangan, penetapan tarifnya ditunda-tunda pemerintah. Padahal sejak 2012, kurs dollar AS sudah naik 60 persen dari Rp 9.500 menjadi Rp 14.100, ditambah inflasi 3,5 persen per tahun, dan upah SDM naik 8-10 persen per tahun atau naik 70 persen, tetapi tarif bus tetap Rp 139 per km,” ungkapnya.