REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kelompok Fatah menggelar acara peringatan hari jadi ke-55 di Jalur Gaza pada Rabu (1/1). Kegiatan yang dihadiri ribuan orang itu dipusatkan di Jalan al-Wihdeh.
Dalam aksinya, massa membawa dan mengusung foto-foto Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan mantan presiden Palestina Yasser Arafat. Pada kesempatan tersebut, Abbas menyampaikan pidato yang diputar melalui video.
Abbas menegaskan bahwa rakyat Palestina di Gaza, wilayah yang hingga kini dikuasai Hamas, tetap berada dalam pikirannya. "Rakyat kami di Jalur Gaza akan selalu tetap berada dalam pikiran dan hati kami. Kalian bersama kami dan kami bersama kalian," ujarnya dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA.
Dia pun mendorong seluruh rakyat Palestina tetap menjaga persatuan. "Langkah-langkah Israel yang agresif terhadap tanah dan rakyat kita, menuntut kita untuk berdiri bersama, tegas, dan kuat, guna melindungi proyek nasional kita," kata Abbas.
Abbas turut menyinggung keputusan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk menyelidiki dugaan kejahatan perang Israel di wilayah Palestina. "Ini adalah ICC yang mengambil keputusan berani untuk melakukan penyelidikan komprehensif terhadap kejahatan perang yang dilakukan pendudukan Israel terhadap rakyat kita, sehingga kita dapat mencoba pendudukan ini sebagai kejahatannya sebelum pengadilan internasional," ucapnya.
Pada Desember tahun lalu, Jaksa ICC Fatou Bensouda telah mengatakan akan meluncurkan penyelidikan penuh terhadap dugaan kejahatan perang di wilayah Palestina. Dia mengaku tak perlu meminta persetujuan para hakim ICC untuk memulai proses tersebut.
"Saya yakin bahwa kejahatan perang telah atau sedang dilakukan di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza," kata Bensouda dalam sebuah pernyataan pada 20 Desember 2018.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak keputusan ICC. Menurut dia tindakan penyelidikan dugaan kejahatan perang yang dilakukan negaranya absurd dan tak masuk akal.
Netanyanu menjelaskan terdapat tiga hal absurd terkait penyelidikan yang hendak dilakukan ICC. Pertama, ICC seharusnya menjadi arena di mana negara-negara dapat memerangi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius. Apalagi negara yang bersangkutan tak memiliki sistem hukum memadai untuk mengadili kasus tersebut.
"Sebaliknya, apa yang telah terjadi di sini, ICC menerima klaim oleh Palestina, yang tidak memiliki negara, terhadap satu-satunya (negara) demokrasi di Timur Tengah," kata Netanyahu.
Kedua, menurut Netanyahu ICC berusaha mengubah fakta dan hak orang Yahudi untuk tinggal di Israel. Hal tersebut dianggap bertentangan dengan kebenaran sejarah.
Terakhir Netanyahu menilai tudingan bahwa Israel melakukan kejahatan perang sangat tak masuk akal. "Siapa yang dituduh di sini, Iran, Suriah, atau Turki? Bukan, tapi Israel, satu-satunya demokrasi di Timur Tengah," ujarnya.