Jumat 03 Jan 2020 05:05 WIB

Ekonom: Perkembangan Inflasi Beri Sinyal Pelemahan Daya Beli

BPS mencatat laju inflasi sepanjang 2019 sebesar 2,72 persen.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Inflasi
Foto: Republika
Inflasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics, Yusuf Rendy Manilet menilai, data-data inflasi pada tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik memperkuat sinyal pelemahan daya beli.

Inflasi tahunan yang hanya 2,72 persen serta inflasi inti yang menurun menjadi 3,02 persen sejalan dengan data-data lain yang mencerminkan pelemahan daya beli. Di antaranya, purchasing manager index (PMI), inflasi dari sektor transportasi, serta fenomena deflasi di daerah-daerah yang masyarakatnya merayakan Hari Natal.

Baca Juga

"Kita perlu waspada melihat data inflasi tahun 2019," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Kamis (2/1).

Mengutip data IHS Markit, PMI Manufaktur Indonesia pada bulan Desember sebesar 49,5. Angka itu naik dari bulan sebelumnya sebesar 48,2. Namun, dikarenakan angka PMI Manufaktur masih di bawah 50, hal itu menunjukkan adanya kontraksi produksi dari kegiatan industri dalam negeri.

Menurut Yusuf, kontraksi itu terjadi lantaran permintaan barang di domestik yang lemah.

Selanjutnya, soal penurunan laju inflasi untuk kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan. Tahun 2018 silam, kelompok ini mengalami inflasi sebesar 3,16 persen dan memberi andil pada inflasi total sebesar 0,56 persen.

Namun, memasuki 2019, inflasi kelompok tersebut turun signifikan ke level 0,17 persen dan hanya memberikan andil inflasi 0,02 persen. Yusuf mengatakan, turunnya inflasi transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan menunjukkan bahwa masyarakat jarang bepergian pada tahun ini dan memilih untuk menahan pengeluaran.

"Akhir tahun biasanya ada kecenderungan orang liburan dan itu akan memacu peningkatan inflasi. Tapi akhirnya inflasi lebih rendah. Ada kecenderungan konsumsi masyarakat tidak begitu antusias," ujar Yusuf.

Adapun yang terakhir, kata dia, terdapat kota-kota yang mayoritas masyarakatnya merayakan natal, namun justru mengalami deflasi. Seperti misalnya di Manado yang mengalami deflasi hingga minus 1,88 persen. Menurut Yusuf, hal itu bertolak belakang dengan situasi yang biasanya terjadi.

"Kota-kota ini seharusnya mengalami inflasi saat perayaan natal dan tahun baru karena ada peningkatan permintaan dan harga. Jadi ini indikasi kuat ada kecenderungan pelemahan daya beli," katanya.

Yusuf pun menilai, pelemahan daya beli bisa jadi berlanjut. Sebab, terdapat banyak tarif-tarif yang diatur pemerintah mengalami kenaikan. Seperti misalnya tarif cukai rokok dan harga ecerannya, dan iuran BPJS yang naik.

Beruntung, pemerintah telah menyatakan untuk tidak akan menaikkan tarif dasar listrik tahun 2020. Sebab, jika tarif naik maka bakal berdampak besar pada inflasi dan daya beli masyarakat untuk berbelanja. Yusuf mengatakan, kelompok barang yang masih harus terus diwaspadai pada tahun ini adalah bahan makanan.

Sebab, perubahan iklim yang terjadi memberikan ketidakpastian pada sektor pertanian dan dapat mempengaruhi situasi produksi pangan dalam negeri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement