REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus gagal bayar klaim dari PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dinilai rentan terhadap kelangsungan bisnis asuransi ke depannya. Hal ini lantaran para pemegang polis belum juga mendapatkan pencairan dari Jiwasraya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mendorong pemerintah selaku pemilik Jiwasraya untuk mempercepat penyelesaian kasus ini, baik secara struktural maupun secara hukum.
Bhima mengusulkan Jiwasraya harus menerbitkan utang demi mendapatkan dana segar untuk membayar tunggakan klaim, meski hal itu akan dilakukan bertahap. Penerbitan ini bisa dilakukan melalui anak usaha barunya, yaitu Jiwasraya Putra.
"Berikutnya lakukan proses penegakan hukum yang lebih cepat terhadap oknum direksi yang lakukan fraud, miss management maupun dugaan korupsi yang merugikan negara," ujar Bhima dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Kamis (2/1).
Selain itu, Bhima menilai penyertaan modal negara (PMN) dan pembentukan holding asuransi juga bisa menjadi solusi penyelamatan Jiwasraya. Namun, Bhima mengingatkan, penyelamatan lewat PMN memiliki banyak risikonya, pasalnya uang dari APBN tersebut bisa saja malah jadi 'bancakan'.
"Nanti bukan untk bayar polis tapi malah jadi fraud. Kita belajar dari kasus Bank Century, bailout justru berisiko memunculkan fraud baru," kata Bhima.
Bhima menyampaikan holding asuransi BUMN bisa jadi solusi asalkan dihitung dampak ke BUMN yang menanggung risiko Jiwasraya. Ia menilai holding asuransi BUMN opsi paling pahit lantaran BUMN drnhant keuangan yang sehat bisa menjadi tumbal dari kasus yang membelit Jiwasraya.
Oleh sebab itu, lanjut Bhima, penerbitan utang oleh anak usaha yakni Jiwasraya Putra menjadi hal yang paling minim risiko untuk menyelematkan Jiwasraya sesegera mungkin. Hingga November 2019 ada 13.095 pemegang polis yang proses klaimnya tertunda dengan total nilai mencapai lebih dari Rp 11,5 triliun.
"Jika penyelesaian berbelit belit dan proses nya lama bisa menimbulkan krisis kepercayaan yang sistemik ke seluruh sektor asuransi dan jasa keuangan di Indonesia. Orang akan kapok beli produk asuransi, ada semacam trauma," ucapnya.
Dalam mengantisipasi kasus ini terulang lagi, Bhima mengapresiasi upaya OJK terkait upaya bersih-bersih pasar modal yang belakangan gencar dilakukan. Menurutnya, kasus Jiwasraya ini tejadi dari adanya dugaan oknum yang menjalankan praktik goreng-goreng saham yang pada ujungnya merugikan para pemegang polis Jiwasraya.
"Tugas OJK mengawasi praktik pembelian saham gorengan yang rentan manipulasi. Di sini pentingnya bersih bersih bank dan jasa keuangan BUMN. Jika ketahuan membeli saham gorengan, ada sanksi untk direksinya. Itu kewenangan OJK," ungkap Bhima.
Berdasarkan catatan OJK, kasus ini dimulai pada 2004, di mana perusahaan sudah memiliki cadangan yang lebih kecil dari seharusnya, insolvency mencapai Rp 2,769 triliun. Pada 2006, laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibanding kewajiban. Hingga 2008, defisit nilai ekuitas perusahaan semakin melebar menjadi Rp 5,7 triliun dan Rp 6,3 triliun pada 2009.
Kemudian langkah untuk re-asuransi membawa nilai ekuitas surplus Rp 1,3 triliun per akhir tahun 2011. Pada 2012, Bapepam-LK memberi izin produk JS Proteksi Plan (produk bancassurances dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY).
Pada 2017, OJK memberi sanksi pada perusahaan karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris 2017. Laporan keuangan tahun itu masih positif, pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp 21 triliun, meskipun perusahaan terkena denda sebesar Rp 175 juta.
Namun pada April 2018, OJK dan direksi Jiwasraya mendapati adanya penurunan pendapatan premi karena guaranteed return JS Saving Plan juga turun. Pada Mei 2018, Jiwasraya mengalami pergantian direksi. Direksi yang baru menyampaikan ada hal yang tidak beres terkait laporan keuangan perusahaan kepada Kementerian BUMN.
Menurut hasil audit KAP (pada laporan keuangan 2017), ada koreksi laporan keuangan interim dari yang semula Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar. Laporan audit BPK tahun 2018 juga menyebutkan bahwa perusahaan berinvestasi pada aset berisiko untuk mengejar imbal hasil tinggi.
Lalu pada Oktober 2018, perusahaan mengumumkan ketidaksanggupannya membayar polis nasabah JS Saving Plan senilai Rp 802 miliar. Adapun untuk memenuhi rasio kecukupan modal berbasis risiko sebesar 120 persen, Jiwasraya butuh modal Rp 32,89 triliun. Sementara, aset perusahaan tercatat senilai Rp 23,26 triliun, tapi kewajibannya mencapai angka Rp 50,5 triliun. Ekuitas negatif Rp 27,24 triliun dan liabilitas produk JS Saving Plan mencapai Rp 15,75 triliun hingga sekarang.