REPUBLIKA.CO.ID,
"Diaspora orang Buton dalam berinteraksi dengan suku lainnya, meskipun dalam lingkup sempit, menyumbang pembentukan masyarakat di Timur Indonesia,"
Begitulah petikan kata pembuka yang ditulis Guru Besar Sejarah Maritim Indonesia, Profesor Susanto Zuhdi dalam buku terbarunya berjudul 'Orang Buton dalam Diaspora Nusantara dan Integrasi Bangsa'. Apa yang disampaikan guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu menjadi salah satu sari penting yang tersaji dalam buku setebal 170 halaman ini.
Buku ini menjadi kerja yang cukup panjang dengan melibatkan sejumlah sejarawan lain selaku tim penyusun buku, yakni Didik Prajoko, Agus Setiawan, dan Noor Fatia Lastika Sari.
Buku Orang Buton dalam Diaspora Nusantara dan Integrasi Bangsa ini menjadi awal kerja besar para sejarawan Universitas Indonesia itu dalam memetakan proses integrasi bangsa Indonesia. Pembahasan buku ini berhasil memetakan diaspora orang Buton ke bagian timur Indonesia, khususnya di Ambon, Ternate, dan Pulau Taliabu. Pemetaan ini sangat penting guna mengetahui bagaimana integrasi bangsa ini tercipta lewat diaspora antar-pulau.
Dalam berdiaspora, orang Buton mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat lokal hingga membentuk komunitas di daerah baru. Karakteristik orang Buton yang menjadi ciri antara lain adalah jiwa keperintisan, kerja keras, ulet, serta sikap merendah dalam proses sosial setempat.
Buku ini dibuka dengan pembahasan tentang jaringan maritim di Nusantara. Jalur maritim nyatanya telah lama menyatukan Nusantara. Jalur maritim pula yang mengantarkan diaspora suku bangsa di Nusantara. Proses integrasi nusantara hingga melahirkan satu sistem bahasa, bangsa, dan tanah air Indonesia ditopang pelayaran yang telah terjadi sejak abad 'pertengahan'.
Lewat perairan pula masyarakat Buton bermigrasi ke Timur Indonesia. Buku ini menjelaskan konteks historis dari Buton yang pada abad ke-14 muncul sebagai sebuah kekuatan politik di Timur Indonesia. Pada abad ke-14 itu lahirlah Kesultanan Buton. Karakteristik Kesultanan dan masyarakat Buton adalah karakter maritim. Konsep negara yang dikembangkan oleh Kesultanan Buton bahkan memakai prinsip negara perahu (shiplike state). Perahu yang digunakan oleh masyarakat Buton adalah perahu bercadik ganda.
Karena budaya yang erat sebagai bangsa maritim, masyarakat Buton sudah tak asing lagi dalam menerjang lautan atau samudera. Mereka berlayar sebagai kegiatan kesehariannya. Tak jarang pelayaran itu membawa mereka untuk bermigrasi dari satu pulau ke pulau baru. Hingga akhirnya, banyak dari masyarakat Buton itu bermigrasi ke wilayah lain, terutama ke Timur Nusantara. Pembahasan soal migrasi ini dikupas pada bab kedua hingga keempat dalam buku ini.
Kawasan Muslim di Buton peninggalan KH Abdul SYukur Gu
Pada bab kelima, buku ini mulai mengupas tentang dinamika integrasi yang terjadi setelah bangsa ini bermigrasi. Sebab dalam proses berdiaspora tentunya kerap muncul percikan polemik akibat gesekan kebudayaan antara si pendatang dengan masyarakat lokal. Bab kelima mengupas sejumlah fenomena isu anti-Buton yang sempat muncul. Ini terutama saat pecahnya konflik Ambon 1999.
Migrasi Buton yang diikuti Bugis, Makassar, dan orang Jawa ke Ambon membuat terjadinya pergeseran demografi di sana. Sehingga komposisi kebudayaan dan agama pun bergeser. Komposisi masyarakat muslim yang jadi agama mayoritas dari masyarakat Buton kemudian berkembang pesat di Ambon.
Tak hanya itu, masyarakat pendatang itu mampu menunjukkan eksistensinya di bidang ekonomi, melebihi dari tingkat ekonomi masyarakat pendatang. Faktor inilah yang menjadi salah satu benih pemantik konflik-konflik kecil hingga akhirnya kerusuhan besar pun pecah di Ambon pada 1999.
Akibat konflik itu, banyak kemudian masyarakat Ambon yang bermigrasi pulang ke Buton. Namun proses mereka pulang ke Buton nyatanya hanya sementara. Sebab hanya hitungan tahun, orang berdarah Buton itu kemudian kembali lagi pulang ke Ambon. Penelitian dalam buku ini menunjukkan bahwa para migran itu sudah merasa seperti orang Ambon ketimbang Buton. Ini membuktikan proses diaspora yang dilakukan masyarakat Buton di Ambon dilakukan secara paripurna dengan peleburan budaya dan jati diri.
Bab terakhir dari buku ini membahas tentang diaspora orang Buton di Pulau Taliabu. Digambarkan pada bab ini bahwa proses diapora itu berlangsung sejak lama. Raja Pertama Buton bahkan singgah ke Taliabu. Dia kemudian menyatakan bahwa Taliabu dan Buton adalah wilayah yang bersahabat.
Dari enam bab dalam buku ini dapat disimpulkan peran penting diaspora Buton dalam proses integrasi bangsa. Secara umum buku ini sangat penting untuk terus dikembangkan sebagai pondasi karya besar besar tentang diaspora seluruh suku bangsa di Nusantara.
Kajian mengenai integrasi bangsa masih sangat penting untuk dimiliki negara seluas dan sekompleks Indonesia. Sebab Indonesia memiliki beragam suku, bangsa, budaya, dan penduduk yang tersebar luas di berbagai wilayah. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap persoalan pembangunan bangsa, khususnya proses integral kebangsaan.
Integrasi dari kelompok suku, budaya, dan wilayah yang kecil akhirnya yang membentuk sistem besar bernama Indonesia. Kajian mengenai sistem inilah yang penting untuk dibahas sebagai bagian untuk memperkuat ketahanan bangsa.
Tak hanya itu, kajian tentang proses integral Indonesia sangat penting untuk menatap masa depan bangsa kedepan yang kaya akan tantangan dari dalam dan luar. Karenanya, buku 'Orang Buton dalam Diaspora Nusantara dan Integrasi Bangsa' akan sangat menarik untuk menjadi pembuka serial panjang penelitian tentang diaspora orang-orang Indonesia ke berbagai wilayah.