REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah berencana segera mencairkan bantuan sosial (bansos) pada kuartal pertama untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi di kisaran lima persen. Tapi, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menilai, kebijakan itu tidak akan berdampak signifikan.
Pencairan bansos dapat menopang ekonomi melalui dorongan terhadap konsumsi rumah tangga, indikator utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB). Rizal menjelaskan, dengan mempercepat penyaluran bansos, efeknya pun pasti terasa pada ekonomi secara makro.
"Bansos ini akan membantu menstimulus daya beli masyarakat," katanya kepada Republika.co.id, Kamis (2/1) malam.
Hanya saja, Rizal memprediksi, penyegeraan pencairan dana hanya mampu mendorong konsumsi rumah tangga pada kisaran 5,05 persen. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi masihi tetap tidak bergerak jauh dari angka lima persen.
Besaran angka tersebut disebabkan adanya tekanan oleh berbagai regulasi yang diberlakukan per Januari 2020. Rizal menyebutkan, misalnya, kenaikan cukai rokok dengan rata-rata kenaikan 23 persen kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas mandiri I, II, dan III, dan tarif tol.
“Daya beli tertekan tumbuhnya, sehingga mempengaruhi konsumsi masyarakat,” ucapnya.
Selain itu, Rizal mengingatkan, dorongan bansos ini hanya untuk jangka pendek atau bersifat short run. Artinya, bansos hanya akan mendorong perbaikan permintaan agregat, yakni melalui konsumsi rumah tangga.
Multiplier effect-nya akan sangat terbatas, berbeda jika pemerintah menstimulus pertumbuhan melalui kinerja ekspor dan investasi.
Rizal menambahkan, dampak yang akan dirasakan dengan pencairan dana bansos sangat bergantung pada beberapa faktor. Di antaranya, seberapa besar dana bansos yang akan digelontorkan, ketepatan sasaran, dan moment/waktu pencairannya.
"Jika prasayarat tersebut sebaliknya, tentunya besaran dampaknya akan sangat kecil," ujarnya.
Dengan demikian, Rizal mengatakan, pemerintah masih membutuhkan antisipasi program jangka menengah dan panjang yang memang dapat berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Khususnya melalui kegiatan ekspor maupun investasi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, pemerintah akan segera mencairkan bansos untuk mendorong konsumsi rumah tangga. Pencairan dilakukan pada Januari atau setidaknya pada kuartal pertama 2020.
Sri menyebutkan, bansos yang siap dicairkan itu terdiri dari berbagai bentuk program. Mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), beras sejahtera atau rastra dan Dana Desa.
"Pencairannya dibuat lebih cepat untuk menahan perlemahan ekonomi global," ujarnya ketika ditemui usai Pembukaan Perdagangan 2020 di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (2/1).
Kebijakan tersebut sudah diputuskan dalam sidang kabinet seiring dengan arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sri menjelaskan, Presiden meminta kepada semua kementerian untuk menggunakan instrumen fiskalnya segera pada awal tahun, termasuk dari sisi bansos.
Pencairan bansos pada awal tahun diharapkan dapat mendorong konsumsi rumah tangga yang diketahui memegang peranan besar terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 50 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disokong dari konsumsi masyarakat.
Sri menuturkan, kebijakan ini dinilai dapat membantu menahan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran lima persen. Khususnya di tengah perlambatan ekonomi global yang masih berlangsung sampai saat ini.
"Ini tantangan tidak mudah, melihat proyeksi ekonomi dunia yang sepenuhnya belum pulih," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Pada 2020, pemerintah mengalokasikan anggaran bansos sebesar Rp 102,9 triliun. Nilai tersebut meningkat 3,3 persen dari outlook realisasi anggaran bansos pada APBN 2019, yaitu Rp 99,6 triliun.