REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inflasi inti pada Desember 2019 mencapai 3,02 persen year on year (yoy). Angka itu menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang 3,07 persen.
Menanggapi itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai, inflasi inti turun karena pertumbuhan permintaan pasar domestik yang rendah. Hanya saja hal tersebut bukan satu-satunya alasan.
"Masih ada kontributor lain seperti rendahnya pertumbuhan investasi nasional. Ditambah turunnya profitability perusahaan karena ekonomi global yang lesu," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani kepada Republika.co.id, Jumat (3/1).
Dengan begitu, lanjutnya, tidak ada ekspansi pada konsumsi industri yang bersifat produktif. Termasuk tidak adanya ekspansi lapangan kerja yang mampu menciptakan trickle down effect terhadap tingkat daya beli dan konsumsi masyarakat dari sektor formal.
Sebagai informasi, secara keseluruhan, inflasi 2019 sebesar 2,72 persen yoy. Angka itu terendah sejak 1999.
Shinta menjelaskan, tingkat inflasi dipengaruhi pula oleh penguatan nilai tukar rupiah. "Depresiasi mata uang Cina yang menjadi sumber utama impor nasional untuk konsumsi maupun industri dan kebijakan nasional untuk menjaga stabilitas ekonomi makro sehingga yang terinsentifkan yakni stabilitas daripada growth," jelas Shinta.
Namun, menurut dia, seharusnya inflasi 2019 masih bisa ada di level tiga persen, tidak serendah di 2,7 persen. "Karena kami melihat konsumsi masyarakat masih baik sepanjang 2019 meskipun pertumbuhannya cenderung stagnan," kata Shinta.
Kadin memproyeksikan, inflasi pada 2020 ada di level tiga sampai empat persen. Tergantung seberapa jauh ekonomi dunia mengalami pemulihan dan seberapa jauh perubahan kebijakan nasional efektif memacu inbound investasi, mendorong efisiensi dan produktifitas industri, serta perluasan ekspor nasional di lapangan.
"Bila ketiga hal ini tidak terpacu karena perubahan kebijakan khususnya Omnibus Law. Maka akan sulit bagi Indonesia untuk mendorong pertumbuhan konsumsi nasional yang saat ini sudah stagnan," ujar dia.
Tanpa investasi, lapangan kerja dan efisiensi, serta produktifitas industri yang meningkat, jelas Shinta, tidak akan ada daya beli kuat bagi masyarakat maupun industri pada 2020. Jadi kenaikan BPJS tahun depan misalnya, hanya akan menciptakan risiko lebih banyak masyarakat yang menjadi uninsured atau socially vulnerable bukannya kenaikan pengeluaran atau konsumsi.
"Ini karena daya beli di 2020 tentu bisa mendukung kenaikan harga barang dan jasa yang kita butuhkan meski harganya naik di 2020. Maka pemerintah harus betul-betul berhati-hati dlm menyikapi fenomena ini. Kalau salah langkah kita bisa mengalami krisis ekonomi atau krisis sosial yg bisa meregresi pertumbuhan ekonomi nasional," jelas Shinta.