REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menegaskan, posisi dan proposisi China di perairan dekat Kepulauan Natuna, Indonesia, sudah mematuhi hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982.
Dia mengatakan, China memiliki hak dan kepentingan atas perairan di Laut Cina Selatan (LCS), terlepas Indonesia menerimanya atau tidak.
"Apa yang disebut putusan arbitrase LCS itu ilegal, batal berdasarkan hukum, dan kami telah lama menegaskan bahwa China tidak menerima atau mengakui hal itu," ujar Geng dalam rilis media dikutip laman resmi Kementerian Luar Negeri China, Jumat (3/1).
"China dengan tegas menentang negara, organisasi atau individu mana pun yang menggunakan putusan arbitrase yang tidak sah untuk merugikan kepentingan China," ujarnya menambahkan.
Hal tersebut disampaikan dalam menanggapi pernyataan Indonesia yang dengan tegas menolak klaim China terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Indonesia berulangkali meminta China agar tak melanggar kedaulatan RI.
"Saya telah menguraikan pernyataan posisi China tentang LCS sehari sebelum kemarin dan tak ada gunanya saya mengulangi lagi," kata Geng dalam keterangan pers tertulis berbentuk tanya-jawab.
Pada Senin (30/12), Kementerian Luar Negeri Indonesia memanggil Duta Besar China Xiao Qian dan mengajukan protes ke Beijing setelah mengkonfirmasikan bahwa 63 kapal penangkap ikan China dan dua kapal penjaga pantai telah berlayar ke perairan teritorial Jakarta di pulau Natuna sejak 19 Desember.
Keesokan harinya, ketika ia menanggapi kritik awal dari Indonesia, Geng mengatakan pada konferensi pers bahwa China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha (nama China untuk Kepulauan Spratly) yang disengketakan di Laut Cina Selatan.
Geng mengatakan, China memiliki hak kedaulatan dan yurisdiksi atas perairan yang relevan di dekat Kepulauan Nansha.
"China memiliki hak historis di Laut Cina Selatan dan nelayan China telah lama terlibat dalam kegiatan perikanan legal dan sah di perairan dekat pulau-pulau itu," kata Geng kepada wartawan, Selasa dikutip Radio Free Asia, Jumat.
"Penjaga Pantai Cina sedang melakukan tugas mereka dengan melakukan patroli rutin untuk menjaga ketertiban laut dan melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat kami yang sah di perairan yang relevan," ujar Geng menambahkan.
Pada Rabu, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengeluarkan pernyataan yang menolak klaim historis China atas ZEEI dengan alasan bahwa nelayan China telah lama aktif di perairan tersebut. Klaim-klaim itu menurut Indonesia bersifat unilateral dan tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982.
"Kami mendesak China untuk menjelaskan dasar hukum dan memberikan definisi yang jelas untuk klaimnya atas ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982," kata pernyataan Kemenlu Indonesia.
China mempunyai kebijakan sembilan garis putus-putus atau nine dash line, yang mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan sebagai milikinya. Sementara Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih.t.
Pada tahun 2016, sengketa LCS meletus antara Indonesia dan China setelah Beijing menuduh Angkatan Laut Indonesia menembaki kapal penangkap ikan China dan melukai seorang anggota kru saat terjadi kebuntuan di perairan Natuna.
Pada tahun 2017, Indonesia menegaskan klaimnya terhadap wilayah tersebut di ujung paling selatan LCS. Indonesia mengganti nama di sekitar pulau-pulau tersebut sebagai Laut Natuna Utara dan membentuk unit militer terpadu dalam rantai tersebut.