Australia seringkali menganggap Indonesia sebagai tetangga paling penting dan sekutu paling strategis. Hubungan diplomatik kedua negara telah mencapai 70 tahun pada akhir Desember lalu.
- Papua Barat terus menjadi masalah yang sensitif untuk dibicarakan oleh kedua negara
- Rencana Australia pindahkan kantor kedutaan Israel ke Yerusalem sempat merusak hubungan dengan Indoensia
- Kesepakatan perdagangan bebas telah ditandatangani di tahun 2019, tapi masih harus diratifikasi di Indonesia
"Tak hanya tetangga dekat, tetapi juga teman baik," begitu kata Scott Morrison soal Indonesia.
Penyataan itu diucapkan saat ia mengadakan kunjungan ke luar negeri pertamanya setelah dilantik sebagai Perdana Menteri Australia.
Bulan November lalu, Duta Besar Australia di Jakarta, Gary Quinlan mengatakan kepada klab koresponden wartawan asing di Indonesia, jika ikatan kuat antara Australia dan Indonesia sudah terjalin sejak 1945.
Australia menjadi pendukung utama kemerdekaan Indonesia dan menjadi negara pertama yang mengirimkan misi diplomatik untuk bertemu Presiden Soekarno.
Tonggak sejarah 70 tahun kedua negara dimulai saat Soekarno memilih Australia untuk mewakili Indonesia dalam diskusi-diskusi di tingkat PBB, yang akhirnya berujung pada pengakuan kemerdekaan pada tanggal 27 Desember 1949.
"Tak ada negara di Asia Tenggara yang sebegitu pentingnya bagi Australia, selain Indonesia," kata Gary.
Namun, perbedaan sejarah, budaya dan ekonomi di antara kedua negara membuat hubungannya "penuh dengan kesalahpahaman", menurut mantan perdana menteri Australia, Paul Keating.
Pasang surut hubungan diplomatik disebabkan karena pertentangan sejumlah isu-isu utama, seperti hukuman mati dalam kasus Bali Nine atau penyelundupan manusia, yang kemudian berujung pada perselisihan atau tak berbicara satu sama lain.
Tapi kedua negara tetap mempertahankan kerjasama yang erat dalam 70 tahun terakhir, karena kedekatan secara geografi serta sejarah di masa lalu.
Inilah sejumlah topik-topik utama yang pernah dilalui oleh dua bangsa dan mau dibawa kemana ke depannya.
Terpilih Kembalinya Jokowi
Untuk menandai pentingnya Indonesia dalam kebijakan luar negeri Australia, pada bulan Agustus 2018, Scott Morrison sebagai Perdana Menteri baru mengikuti langkah-langkah pendahulunya dengan segera melakukan perjalanan ke Indonesia untuk perjalanan pertamanya ke luar negeri.
"Dengan melakukan kunjungan luar negeri pertama saya sebagai Perdana Menteri ke Indonesia, saya ingin membuat pernyataan yang jelas tentang pentingnya hubungan kita," kata PM Morrison.
Sebelumnya, mantan perdana menteri Malcolm Turnbull telah membentuk hubungan yang kuat dengan Presiden Indonesia Joko Widodo selama bertahun-tahun.
Penggulingan Turnbull dari politik Australia menimbulkan kekhawatiran bahwa perjanjian perdagangan bebas yang sudah dirancang sembilan tahun dengan Indonesia akan terancam.
"Australia dan Indonesia berbagi geografi, ikatan sejarah yang dalam, hubungan kontemporer yang kaya, serta visi kawasan yang damai dan makmur," PM kata Morrison.
"Kolaborasi erat kami di bidang ekonomi, keamanan, dan strategis membuat kedua negara lebih kuat, lebih aman, dan lebih sejahtera."
Tapi dua minggu kemudian setelah kembali ke Canberra, PM Morrison mengusulkan pemindahan kedutaan Australia di Israel, dari Tel Aviv ke Yerusalem, yang memicu kemarahan sejumlah negara yang mayoritas penduduknya Muslim, termasuk Indonesia.
Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik formal dengan Israel dan negara tersebut pernah menolak masuk warga Indonesia, yang kemudian dibalas Indonesia kepada warga Israel yang ingin datang ke Indonesia.
Pengumuman PM Morrison sempat membuat hubungan kedua negara bersitegang hingga tahun berikutnya, yang berujung pada penutupan sementara kantor perwakilan Australia di Jakarta.
"[Joko Widodo] menyampaikan pandangannya seperti yang sudah disampaikan pada PM Morrison soal kekhawatiran di Indonesia dari rencana pemindahan kedutaan besar Australia ke Tel Aviv," kata Malcolm Turnbull, mantan PM Australia.
"Tentu saja langkah ini mendapat reaksi negatif di Indonesia."
"Pada akhirnya Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia, kita seharusnya sudah tahu soal ini dan kita harus pikirkan kepentingan nasional kita, kepentingan kita di kawasan, saat mempertimbangkan keputusan ini."
PM Morrison kemudian tidak meneruskan rencana pemindahan kantor kedutaannya di Israel.
Maret 2019, kerjasama perdagangan bebas pun ditandatangani, meski ratifikasinya kembali ditunda, karena Indonesia dan Australia sama-sama memilih pemimpin baru.
Saat pemilu di Indonesia berlangsung, Australia dengan cemas menunggu apakah Joko Widodo akan kembali terpilih untuk masa jabatan keduanya, atau malahan Jenderal Prabowo Subianto, yang mendapat kecaman internasional karena dianggap melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Jokowi, bersama Ma'ruf Amin, yang dianggap sebagai ulama garis keras, akhirnya menang dengan 55 persen suara.
Kemenangan Jokowi disambut dengan tenang di Canberra, karena artinya Australia masih bisa melakukan sejumlah kebijakan luar negerinya, terutama karena Prabowo dianggap memusuhi perdagangan bebas.
"Hasil pemilu di kedua negara artinya kedua pemerintahan harus meratifikasi kesepakatan dan sepertinya untuk bisa diwujudkan segera," ujar Heat Baker, pejabat sementara Direktur Eksekutif Export Council of Australia.
Lebih dari sekedar hubungan dagang
Meski Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia, namun, perdagangan antara Australia dan Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan kemitraan Australia dengan anggota ASEAN lain, seperti Singapura dan Malaysia.
Kedekatan geografis tidak selalu berarti hubungan ekonomi yang lebih dekat, meski akhirnya Australia dan Indonesia menandatangani perjanjian perdagangan bebas bulan Maret 2019.
Kedua pemimpin negara memang biasanya tidak perlu hadir saat penandatanganan, tapi absennya Presiden Jokowi dan PM Scott Morrison telah dibanding-bandingkan saat Australia melakukannya dengan Korea Selatan, China, dan Jepang.
"Ada banyak ruang untuk memperdalam hubungan perdagangan dan investasi, karena kita adalah dua negara dengan ekonomi terbesar di kawasan ini," kata Marise Payne, Menteri Luar Negeri dalam sebuah konferensi pers.
Di Australia, ratifikasinya sudah dilakukan pada Desember 2019, tapi di Indonesia masih harus menunggu persetujuan dari anggota parlemen di Senayan, yang sebelumnya dijadwalkan sebelum 2020.
Dijuluki sebagai Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia, kesepakatan perdagangan akan mengurangi tarif pada hampir semua barang impor dan melonggarkan soal aturan kepemilikan asing di Indonesia.
Kesepakatan ini banyak ditentang oleh warga Indonesia, termasuk anggota parlemen, karena dianggap hanya akan mendahulukan kepentingan Australia dan khawatir pengurangan tarif malah akan membuat pasar kebanjiran produk Australia.
Para petani di Australia sudah lama ingin memiliki akses masuk, apalagi setelah hubungan Australia dan China yang memanas dalam beberapa bulan terakhir, meski mereka tahu kesepakatan dagang dengan Indonesia ini juga solusinya.
"Bukan hanya memiliki pangsa pasar, tapi apa yang terjadi setelahnya," ujar Fiona Simson, Presiden dari Federasi Petani Nasional.
"Ini adalah soal hubungan, jaringan, menaruh orang-orang penting kita disana."
Sementara itu, Menteri Pertanian dan Investasi bayangan dari pihak oposisi, Jason Clare, mengatakan perdagangan dengan Indonesia benar-benar belum matang.
"Australia dan Indonesia adalah seperti tetangga yang jarang tahu apa yang terjadi di sebelahnya," katanya.
"Kita tak bicara satu sama lain, atau tidak cukup bekerja sama seperti seharusnya."
"Jika kesepakatan ini bisa membantu mengatasinya, maka akan meningkatkan perdagangan ... ini jadi hal yang baik, tapi kita harus lihat bagaimana detailnya."
Papua Barat, Timor Leste, dan ketidakpercayaan
Sebuah makalah penelitian parlemen Australia mencatat perjanjian keamanan 1995 antara kedua negara menunjukkan kemajuan yang telah dibuat Canberra dalam "mengembangkan salah satu hubungan bilateral yang paling penting tetapi paling sulit".
Makalah tersebut berisi kutipan dari mantan perdana menteri Paul Keating yang menggambarkan perjanjian keamanan tersebut sebagai bagian utama kebijakan luar negeri Australia.
"[Ini] bukan hanya tentang ancaman eksternal, tapi keseluruhan kawasan, sebuah kebijakan luar negeri dan perdagangan dengan negara-negara tersebut," ujar Paul.
"Australia dan Indonesia memiliki pandangan dan minat yang kebetulan sama soal pemikiran strategis di kawasan."
Kekalahan Keating dalam pemilu saat itu terjadi beberapa bulan setelah perjanjian disepakati, diikuti krisis keuangan Asia, penggulingan mantan presiden Suharto, krisis Timor-Leste, dan fokus yang bergeser pada pengaruh China yang meningkat.
Akibatnya hubungan Indonesia dan Australia pun menjadi goyah.
Keterlibatan Australia dalam krisis Timor-Leste 1999 tetap menjadi penanda adanya ketidakpercayaan antara Indonesia dan Australia, termasuk juga masalah-masalah soal keinginan Papua untuk merdeka.
Pada bulan Agustus 2019, ribuan demonstran turun ke jalan dan membakar gedung-gedung pemerintah selama bentrokan mematikan di provinsi Papua dan Papua Barat.
Jakarta tetap teguh dalam pendiriannya bahwa wilayah tersebut telah menjadi bagian dari Indonesia yang bersatu sejak referendum yang didukung oleh PBB. Dengan tegas Jakarta menyatakan konflik terkait Papua dalah masalah dalam negeri.
Meski tuntutan Papua untuk merdeka dan konflik Timor-Leste dianggap memiliki kemiripan, Australia memilih diam soal Papua.
Sikap Australia dapat ditelusuri kembali dari Perjanjian Lombok yang ditandatangani pada 2006, setahun setelah 43 warga Papua Barat tiba di Australia mencari suaka dan diberi visa perlindungan.
Perjanjian tersebut menetapkan bahwa kedua negara tidak akan ikut campur dalam urusan internal, menghormati kedaulatan satu sama lain, serta tidak mendukung tindakan "separatis".
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak warga Indonesia marah dengan liputan media Australia tentang Papua Barat.
Mereka menyebut banyak laporan dari Australia "sepihak", terutama karena menyediakan platform bagi pengacara hak asasi manusia Veronica Koman, yang dituduh di Indonesia sebagai "provokator".
Sebuah keputusan oleh dewan kota di Sydney untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora milik Papua Barat awal Desember lalu juga menimbulkan kontroversi.
Konsulat Jenderal Indonesia di Sydney mengatakan pengibaran itu malah bisa "disalah diartikan sebagai Papua Merdeka didukung Pemerintah Australia".
Ketahanan hubungan diuji 'di era baru'
Dubes Australia di Jakarta, Gary mengatakan Indonesia dan Australia pernah menjalin kerja sama yang paling erat di kawasan.
"Kami adalah mitra terdekat dalam penanggulangan terorisme dan sangat kuat dalam penegakan hukum, pertahanan, kerja sama maritim, pengelolaan batas negara, transportasi, penerbangan, pertanian dan pendidikan," katanya.
"Semua hal yang perlu dilakukan tetangga dekat, kita sudah lakukan bersama".
Tetapi Gary mengatakan kedua negara "sekarang berada pada titik balik strategis dalam hubungannya."
"Ketahanan kedua negara diuji dan masing-masing dari kita telah sengaja mengambil pilihan untuk merangkul lebih dekat di era baru ini," katanya.
"Kita tidak lagi menghabiskan banyak waktu untuk berbicara satu sama lain tentang diri sendiri, yang jadi tantangan bilateral kita, tapi semakin berbicara soal orang lain dan apa yang dapat kami lakukan bersama untuk menciptakan wilayah yang lebih tangguh".
"Untuk melakukan itu, tentu saja, hubungan kita sendiri harus tangguh."
Kedutaan Besar Australia di Jakarta tetap menjadi misi diplomatik luar negeri terbesar Australia, menghabiskan hampir setengah miliar dolar untuk membangun dan mempekerjakan lebih dari 500 staf termasuk, 150 diplomat Australia.
Terlepas dari pentingnya sejarah Indonesia bagi Australia, survei Lowy Institute baru-baru ini menemukan bahwa masyarakat Australia memiliki pengetahuan yang kurang tentang Indonesia.
Jajak pendapat yang sama juga menemukan hanya 1 persen orang Australia memandang Indonesia sebagai "sahabat terbaik Australia di dunia".
Mengelola hubungan mungkin tidak mudah bagi kedua negara, tetapi kepentingan bersama dalam perdagangan, investasi, dan keamanan regional telah membantu mempertahankan ikatan yang kuat.
Gary mengatakan di saat kedua negara mungkin akan terus memiliki masalah dalam hubungan, perjanjian bilateral sekarang ini sedang kuat dan bergerak ke arah yang benar.
Kristiarto Legowo, duta besar Indonesia untuk Australia, juga menegaskan kembali pentingnya hubungan saat perayaan 70 hubungan diplomatik antar dua negara di Kedutaan Indonesia di Canberra, bulan September lalu.
"Indonesia dan Australia memilih untuk berteman satu sama lain, dan itu adalah teman saat dibutuhkan dan teman sejati ... persahabatan dua arah, bukan hanya satu arah," katanya.
Kristiarto juga menegaskan pentingnya upaya bersama antara kedua negara untuk menghadapi tantangan, dengan mengutip pepatah Indonesia, "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing", atau dalam bahasa Inggris, "many hands make the work load lighter".
Read the story in English here.