REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ina Salma Febriany
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim [14]: 7).
Seringkali kita mendengar ayat di atas dibacakan dalam berbagai acara keagamaan baik dalam tausiyah maupun ceramah yang mengisyaratkan perintah Alquran untuk bersyukur. Perintah dalam ayat di atas sangat jelas yaitu anjuran untuk bersyukur, jika ingin ditambah nikmat oleh Allah SWT. Karenanya, keyword dalam ayat ini ialah syukur. Apa sih syukur? Karena tidak jarang kita sering sekali mendengar nasihat, “Bersyukur aja, nanti ditambah nikmatnya,” yang sebenarnya nasihat ini terinspirasi dari Alquran surah Ibrahim ayat 7 ini. Nah, perintah bersyukur inilah yang menjadi tema sentral awal surah Ibrahim.
Sebelumnya (di ayat 5) perintah bersyukur ini sudah ditegaskan secara khusus untuk kaum Nabi Musa AS (Bani Israil). Namun, di ayat 5 termaktub bahwa bersyukur saja tidak cukup, umat Nabi Musa (juga secara umum umat Rasulullah SAW) harus mampu menahan diri (bersabar) terhadap hal-hal yang kurang atau bahkan tidak disukai.
Nah, kembali ke lafal syukr—yang terdiri atas kata syin, kaf, dan ra’, secara bahasa, kata ini bermakna membuka, menampakkan, menyingkap, dan menunjukkan.
Ahmad ibn Faris dalam karyanya Maqayis al-Lughah mengemukakan empat makna dari kata ini. Pertama, adalah pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh seseorang. Kedua, syukr juga bermakna penuh atau lebat.
Dengan demikian, dua makna tersebut korelatif dengan sikap manusia yang ridha dan puas atas nikmat Allah SWT, baik banyak maupun sedikit.
Melalui makna dasar tersebut itulah, maka tergambar bahwa siapa yang merasa puas dengan perolehan yang sedikit setelah berusaha dengan maksimal, maka hakikatnya dia akan memeroleh nikmat yang banyak, lebat, dan subur, mengingat balasan Allah tidak selalu dalam bentuk material yang kasat mata.
Senada dengan Ahmad ibn Faris, pakar bahasa Arab, Syekh ar-Raghib al-Ashfahani dalam Mufradat-nya berpendapat bahwa kata syukr juga berarti sebagai upaya untuk mau menampakkan nikmat-nikmat Tuhan ke permukaan (lihat pengujung surah adh-Dhuha).
Karenanya, makna syakara adalah yang merupakan lawan dari kafara (menutup) atau tidak mau mensyukuri nikmat Allah SWT.
Dengan demikian, makna kata dasar syukr di atas dapat kita pahami dengan perasaan syukr menuntut pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan dan pengamalan/ pemanfaatan nikmat tersebut melalui anggota tubuh. Sehingga akhirnya, makna ini sangat terkait dengan kata yasykur, syakir maupun syakur. Apa perbedaan ketiganya?
Kata yasykur (bentuk fi’l mudhari/ kegiatan yang terus menerus dilakukan) bermakna upaya sungguh-sungguh untuk mensyukuri nikmat Allah (walau sesekali khilaf dan lupa) namun tetap mengupayakannya. Sedangkan syakir, tingkatannya lebih tinggi dari yasykur— jika bersyukur semakin sering dilakukan oleh seorang hamba, maka ia memeroleh derajat syakir.
Selanjutnya, terakhir yaitu syakur, bila perasaaan mau dan sadar untuk mensyukuri nikmat Allah telah mendarah daging (baik bersyukur terhadap cobaan dari Allah) telah menjadi kepribadian seorang hamba, maka ialah yang memeroleh derajat tertinggi yakni syakur.
Tingkatan ketiga inilah yang rasanya masih sulit dilakukan, meski tentu sangat mungkin bisa diupayakan oleh seluruh hamba, karenanya, Alquran melukiskan bahwa sangat sedikit hamba-Nya yang memeroleh derajat syakur, “Dan sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang syakur (mau berterimakasih),” (QS Saba [34]: 13).
Semoga ulasan sederhana ini mampu menguatkan kita untuk berupaya menjadi hamba syakur, hamba yang mau dan tulus secara sadar mengucapkan terimakasih pada Tuhan yang telah memberi hidup juga memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut kepada sesama makhluk-Nya.