REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Militer Irak membantah adanya serangan udara yang salah menyasar konvoi petugas medis di Taji, wilayah utara Ibu Kota Baghdad pada Sabtu (4/1).
Sebelumnya, ada laporan dari pasukan mobilisasi yang mengelompokkan paramiliter, Popular Mobilisation Forces (PMF) bahwa serangan udara terjadi. Serangan itu diyakini menargetkan anggota pasukan di Taji, tetapi justru mengenai konvoi petugas medis.
Namun, tidak disebutkan siapakah pihak yang diduga melakukan serangan tersebut. Termasuk jumlah korban akibat insiden tersebut.
Selain itu, PMF kemudian justru mengeluarkan pernyataan lain bahwa tidak ada konvoi petugas medis terkena serangan di Taji.
Sementara itu, terdapat laporan bahwa Amerika Serikat (AS) melakukan serangan udara. Meski demikian, koalisi pimpinan Negeri Paman Sam di Irak mengatakan tidak melakukan serangan udara di dekat Camp Taji.
“Koalisi @CJTFOIR tidak melakukan serangan udara di dekat Camp Taji (utara Baghdad) dalam beberapa hari terakhir,” ujar juru bicara Operation Inherent Resolve (OIR), Myles B. Caggins III melalui jejaring sosial Twitter pada Sabtu (4/1).
Sebelumnya, Newsweek melaporkan para pejabat Kementerian Pertahanan AS melakukan serangan yang ditujukan untuk menargetkan Brigade Imam Ali. Bahkan, pemimpin kelompok itu, Shubul al-Zaidi diklaim tewas pada Sabtu (4/1).
Laporan serangan udara datang setelah terjadinya pembunuhan Komandan Pasukan Quds Iran, Jenderal Qassem Soleimani di Bandara Internasional Baghdad pada Jumat (3/1). Selain itu, ada komandan milisi Irak yang juga tewas, yaitu Abu Mahdi al-Muhandis.
Dalam sebuah pernyataan, Gedung Putih mengatakan bahwa Presiden AS Donald Trump telah memerintahkan serangan itu. Iran kemudian memperingatkan PBB bahwa mereka memiliki hak mempertahankan diri setelah insiden yang disebut sebagai pengeboman AS yang pengecut.
“Ini adalah perang,” tulis pernyataan yang dari kelompok pro-Hezbullah Lebanon, Al-Akhbar pasca-pembunuhan Soleimani terjadi.