REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bukan pemimpin AS pertama yang mengincar Jenderal Iran Qassem Soleimani. Tapi dia pemimpin pertama yang menarik pelatuknya.
Tingginya risiko dalam keputusan-keputusan yang diambil Trump membuat Partai Demokrat dan sebagai anggota Partai Republik kian khawatir. Banyak yang menilai Trump hanya fokus kepada kemenangan-kemenangan jangka pendek dan tidak memikirkan dampak jangka panjang.
"Trump pikir kebijakan luar negeri adalah acara realitas, dan jika tidak ada konsekuensi yang menghancurkan pada hari berikutnya, maka tidak akan ada konsekuensi," kata mantan deputi penasehat keamanan nasional Barack Obama, Ben Rhodes, Ahad (5/1).
Trump selalu mengambil langkah yang ditangguhkan pemimpin sebelumnya. Dalam isu keamanan nasional Trump sering mengambil langkah yang tidak ditindaklanjuti pemimpin-pemimpin AS sebelumnya karena mempertimbangkan resiko yang dihadapi.
Jenderal Iran, Qassem Soleimani
"Konsekuensi-konsekuensi itu akan datang, dalam beberapa kasus, sudah ada, di kasus lainnya, progresivitas situasi semakin memburuk," kata Rhodes.
Pada suatu waktu Trump sekedar ingin meningkatkan risiko. Di momen yang lain ia mempertanyakan validitas peringatan bahkan dari pakar yang ia tunjuk dalam pemerintahannya. Trump selalu bangga melakukan itu.
Seperti ketika ia memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Dia bukan presiden AS pertama yang menjanjikan hal itu. Tapi presiden pertama yang melakukannya.
Walaupun langkah tersebut ditentang penasihat-penasihatnya yang menilai hal itu akan meningkatkan ketegangan di Timur Tengah. Ia juga menjadi presiden AS pertama yang menginjakan kaki ke Korea Utara.
Trump mengabaikan kritikan yang menilai hal tersebut hanya memberikan kemenangan simbolik kepada Korut. Tapi tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi Amerika.
Para pendukungnya tetap mendukung Trump melakukan langkah-langkah yang tidak dilakukan presiden sebelumnya. Para pendukung Trump menilai presiden AS ke-45 itu menggunakan kacamata bisnis dalam mengatasi masalah-masalah yang sulit diatasi.
Kesediaan Trump untuk mengambil langkah nonkonvensional sudah menjadi bagian dalam kehidupan politiknya. Memasuki tahun terakhir masa jabatannya, para pembantu Trump mengatakan pengusaha real estate itu semakin berani mengambil keputusan berdasarkan instingnya.
Ia membuang sejumlah penasihat yang ia nilai sebagai 'penghalang' yang mencoba membatasi impulsnya. Seperti mantan Menteri Pertahanan Jim Mattis yang mengundurkan diri karena tidak setuju dengan keputusan Trump.