REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapal China seperti tak gentar melakukan pelanggaran di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Meski berulangkali diusir mereka tetap saja kembali dan mencuri ikan di wilayah Indonesia di Natuna.
Seperti pada Ahad kemarin, Kapal China tetap saja bertahan. Kapal nelayan itu dikawal oleh kapala penjaga pantai China di 130 NM timur laut Ranai, Natuna.
"Iya benar (masih bertahan), 2 coast guard & 1 pengawas perikanan + 30 kapal ikan China," kata Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I TNI Laksamana Madya TNI Yudo Margono kepada Republika.co.id.
Yudo menegaskan, rencananya besok (hari ini) akan ada 6 KRI yang akan dikerahkan di perairan Natuna. Meskipun masih bertahan, TNI tetap akan melakukan shadowing terhadap keberadaan kapal-kapal tersebut.
Video capture KRI Tjiptadi-381 yang beroperasi di bawah kendali Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmada I menghalau kapal Coast Guard China saat melakukan patroli di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, Senin (30/12/2019).
Selain itu, pihaknya tetap akan mengupayakan langkah-langkah yang persuasif agar-agar kapal-kapal China tersebut mau meninggalkan perairan Indonesia. "Diambil langkah-langkah persuasif dengan komunikasi yang baik," ujarnya.
Perseteruan yang terjadi di Laut Natuna Utara baru-baru ini dipicu masuknya sejumlah kapal nelayan Cina yang dikawal Kapal Penjaga Pantai sejak Desember lalu.
Pihak TNI AL berkali-kali melakukan pengusiran, tetapi penerobosan batas wilayah terus dilakukan kapal-kapal nelayan dan penjaga pantai tersebut.
Reaksi pun bermunculan dari pemerintah Indonesia. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menekankan, Indonesia tidak akan pernah mengakui Nine Dash Line yang diakui sepihak oleh Cina. Kebijakan sembilan garis putus-putus yang menjadi landasan China melanggar wilayah kedaulatan RI.
"Indonesia tidak pernah akan mengakui Nine Dash Line, klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama Unclos (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) 1982," kata Retno seusai rapat koordinasi di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (3/1) lalu.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan pemerintah Indonesia tidak akan bernegosiasi dengan Pemerintah China terkait dengan persoalan perairan Natuna.
Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, kata Mahfud, perairan Natuna merupakan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sehingga tidak perlu negosiasi bilateral.
"Terkait dengan kapal ikan China yang dikawal resmi pemerintah Tiongkok di Natuna, prinsipnya begini, Indonesia tidak akan melakukan negosiasi dengan Tiongkok," kata Mahfud,usai menghadiri Peringatan Dies Natalis Ke-57 Universitas Brawijaya di Kota Malang, Jawa Timur, Ahad.
Menurutnya, jika pemerintah Indonesia melakukan negosiasi, secara tidak langsung akan mengakui bahwa ada sengketa antara Indonesia dan China.
Padahal, lanjut Mahfud, perairan Natuna milik Indonesia secara utuh sehingga tidak diperlukan negosiasi atau perundingan dengan pemerintah Tiongkok.
"Tiongkok tidak punya hak untuk mengklaim daerah tersebut. Jika kita berunding dengan Tiongkok, kita mengakui bahwa perairan itu ada sengketa. Namun, ini tidak ada sengketa, dan mutlak milik Indonesia secara utuh," kata Mahfud menegaskan.
Mahfud mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak membentuk tim negosiasi dengan pemerintah China terkait dengan masalah perairan Natuna. Indonesia akan mempertahankan kedaulatan negara, termasuk perairan Natuna.
Sebelumnya, juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menegaskan, posisi dan proposisi China di perairan dekat Kepulauan Natuna, Indonesia, sudah mematuhi hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982.
Dia mengatakan, China memiliki hak dan kepentingan atas perairan di Laut Cina Selatan (LCS), terlepas Indonesia menerimanya atau tidak.
"Apa yang disebut putusan arbitrase LCS itu ilegal, batal berdasarkan hukum, dan kami telah lama menegaskan bahwa China tidak menerima atau mengakui hal itu," ujar Geng dalam rilis media dikutip laman resmi Kementerian Luar Negeri China, Jumat (3/1).
"China dengan tegas menentang negara, organisasi atau individu mana pun yang menggunakan putusan arbitrase yang tidak sah untuk merugikan kepentingan China," ujarnya menambahkan.