REPUBLIKA.CO.ID, BRESCIA -- Sepak bola Italia kembali dibayangi aksi rasialisme suporter. Striker Brescia, Mario Balotelli diduga jadi sasaran serangan rasialisme dalam pertandingan Serie A lawan Lazio, Ahad (5/1).
Sebuah pengumuman di stadion terdengar selama pertandingan, meminta fan tak menyanyikan nyanyian bernada diskriminatif. Akibatnya, pertandingan sempat dihentikan pada babak pertama selama beberapa menit, setelah Balotelli terganggu dengan nyanyian suporter.
Balotelli menyebut fan Lazio telah mempermalukan diri mereka sendiri dengan aksi tak terpuji tersebut. "Fan yang Lazio hadir di stadion hari ini, kalian memalukan," kata Balotelli, dalam aku media sosialnya, dikutip dari BBC, Senin (6/1).
Padahal, masih segar ingatan publik saat Balotelli menendang bola ke tribun penonton dan mengancam keluar dari lapangan pada November 2019. Saat itu, ia jadi sasaran rasialisme dalam pertandingan lawan Hellas Verona dan memaksa pertandingan dihentikan untuk sementara waktu. Namun, sanksi yang ringan sepertinya membuat suporter sepak bola di Italia tak takut untuk mengulangi tindakan mereka.
Saat itu, Hellas Verona hanya dihukum dengan larangan bertanding tanpa penonton di kandang sendri. Sementara, hanya satu orang yang diberikan sanksi larangan menonton di stadion sampai Juni 2030.
Aksi supoter yang memalukan ini pun menodai rekor kemenangan sembilan kali beruntun di Serie A Lazio sejak 1999. Sehingga, Lazio mengeluarkan pernyataan untuk mengutuk insiden rasialisme di Stadion Mario Rigamonti tersebut.
"Sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya, SS Lazio mengutuk sikap diskriminatif dari sebagian kecil fan selama pertandingan dengan Brescia," ucap Lazio, dikutip dari Football Italia.
Lazio menegaskan, bahwa mereka akan mengambil langkah hukum terhadap fan yang melakukan tindakan rasialisme. Sebab, Lazio menilai tindakan tersebut mengkhianati gairah olahraga serta merusak citra klub dan tim Biancocelesti.
"Klub sekali lagi menegaskan kecaman terhadap perilaku yang tidak tepat tersebut," tegas Lazio.
Tanda peringatan larangan aksi rasisme dalam sebuah laga sepak bola. (EPA-EFE/ANP SPORT / Ronald Bonestroo)
Peristiwa ini memang patut disesalkan. Mengingat pada akhir November lalu, 20 klub Serie A membuat surat terbuka. Isinya adalah sikap mereka untuk melawan segala bentuk rasialisme dalam sepak bola Italia. Itu setelah ada beberapa peristiwa rasialisme terhadap Balotelli, Romelu Lukaku, Moise Kean dan Blaise Matuide.
"Surat terbukan untuk semua orang yang mencintai sepak bola Italia. Kami harus mengungkapkan kalau kita punya masalah serius dengan rasialisme. Ini masalah yang kita belum cukup kuat melawannya selama bertahun-tahun," tegas surat pernyataan tersebut, dikutip dari Marca.
Sikap itu muncul setelah pemain-pemain yang mendapat serangan rasialisme di sepak bola Italia itu disaksikan dan dibicarakan di seluruh dunia. Sehingga tentu saja itu memalukan seluruh pihak yang terlibat dalam sepak bola Italia. Karena, tidak boleh ada seseorang yang dijadikan sebagai sasaran rasialisme, baik di dalam maupun di luar sepak bola.
"Kita tidak boleh lagi diam terhadap masalah ini atau menunggu (masalah ini) hilang secara tiba-tiba," ujar surat tersebut.
Liga Primer Inggris juga tak terlepas dari aksi rasialisme. Jelang akhir tahun 2019, bek Chelsea, Antonio Ruediger dilaporkan jadi sasaran tindakan rasialime dari fan Tottenham Hotspur dalam pertandingan Liga Primer Inggris, Ahad (22/12). Hal tersebut diketahui dari pengumuman di stadion yang ditujukan kepada penonton saat pertandingan berlangsung.
Wasit pertandingan Anthony Taylor pun menerapkan langkah pertama dari protokol FIFA untuk menyelesaikan diskriminasi dalam pertandingan. Ruediger terindikasi mengalami serangan rasis oleh suporter Spurs yang menirukan gerakan monyet di menit ke-63. Penerapan protokol FIFA tersebut merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah sepak bola Inggris.
"Menyedihkan melihat rasialisme lagi di pertandingan sepak bola. Tapi saya pikir sangat penting membicarakannya di ruang publik. Jika tidak, itu akan kembali dilupakan dalam beberapa hari (seperti biasa)," ujar Rudiger.