REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Ahmad Dahlan Ahyad adalah sosok ulama yang konsisten berjuang di dunia pendidikan. Hal ini ditunjukkan dari posisinya sebagai pemangku Pesantren Kebondalem Surabaya dan juga sebagai pendiri perkumpulan Taswirul Afkar.
Dalam buku berjudul “Peranan KH. Achmad Dahlan Achyad dalam Memperjuangkan Taswirul Afkar”, Siti Khoiriah menjelaskan, Taswirul Afkar adalah organisasi yang berdiri pada masa penjajahan, dan merupakan ide rakyat untuk membuat forum diskusi.
Forum Taswirul Afkar didirikan pada 1914 dengan tujuan meraih kesepakatan bersama dalam masalah sosial, pendidikan dan dakwah. Namun, dalam perkembangannya Taswirul Afkar lebih fokus ke pendidikan.
Beberapa ulama yang terlibat dalam pendirian Taswirul Afkar adalah orang-orang penting dari berbagai organisasi di Indonesia, antara lain KH Wahab Chasbullah yang berperan dalam pendirian NU, KH Mas Mansur tokoh termasyhur organisasi Muhammadiyah, dan Kiai Dahlan Ahyad sebagai pendiri organisasi MIAI.
Forum diskusi Taswirul Afkar pada mulanya sederhana, bersifat terbatas untuk kalangan tertentu. Seiring perkembangan waktu, Taswirul Afkar kemudian mulai diminati oleh pemuda. Kondisi ini lah yang dimanfaatkan untuk membina kontak antara sejumlah tokoh muda dengan tokoh agama dan tokoh intelektual.
Taswirul Afkar berusaha mencari berbagai solusi keagamaan dalam kehidupan sehari-hari hingga merambah pada pembahasan politik perjuangan untuk mengusir penjajah. Namun, sesuai dengan namanya forum diskusi ini didirikan bukan untuk perjuangan dibidang politik melainkan dibidang pendidikan.
Pada 1918, Taswirul Afkar kemudian menjadi perhimpunan yang resmi bergerak di bidang pendidikan dan berubah nama menjadi Madrasah Islamiyah Surya Sumirat Afdeling Taswirul Afkar. Artinya pada tahun tersebut Taswirul Afkar bergabung dan menjadi cabang dari perkumpulan Surya Sumirat.
Namun itu hanyalah siasat dari Kiai Dahlan dan kawan-kawan saja agar Taswirul Afkar mendapat ijin operasional dari pemerintah kolonial. Pada 1930, Taswirul Afkar kemudian resmi menjadi madrasah yang independen tidak menginduk lagi pada organisasi Surya Sumirat.
Pada 1922, KH Mas Mansyur meninggalkan Taswirul Afkar dan masuk pada Muhammadiyah. Sedangkan, kegesitan Kiai Wahab dalam berorganisasi dan keahliannya melobi menjadikannya semakin sibuk sampai memaksanya tidak bisa berkecimpung dalam Taswirul Afkar terutama sekitar 1929-1935.
Akhirnya, Kiai Dahlan lah yang menjadi tokoh sentral pengelola Taswirul Afkar. Ia tetap konsisten mengembangkan Taswirul Afkar sebagai lembaga pendidikan. Kiai Dahlan kemudian menjadikan madrasah dalam tiga bentuk, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Al-Aitam dan Ibn Masakin. Bahkan, kini lembaga pendidikan ini berkembang menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Taswirul Afkar, yang berada di naungan Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Taswirul Afkar Surabaya.