REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Kamran Dikarma
Diiringi ratapan massa, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memimpin prosesi pemakaman Komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qasem Soleimani di Teheran, Senin (6/1). Soleimani direncanakan dimakamkan Selasa (7/1).
Khamenei melakukan shalat jenazah di depan peti Soleimani. Pada satu kesempatan, ia terlihat menangis. Khamenei memang cukup akrab dengan sang jenderal.
Sementara itu, putri Soleimani, yaitu Zeinab, langsung mengarahkan ancaman kepada militer Amerika Serikat di Timur Tengah. Di hadapan lautan massa Teheran, ia menyampaikan ancamannya.
"Keluarga para tentara Amerika di Asia barat...akan menghitung hari menanti kematian putra-putri mereka," katanya kepada massa.
Dia pun memberi pesan kepada Presiden AS Donald Trump yang memerintahkan pembunuhan terhadap Soleimani. "Trump, jangan berpikir bahwa semuanya sudah berakhir dengan kematian ayah saya," katanya.
Acara prosesi itu dihadiri ratusan ribu orang. Media resmi Pemerintah Iran bahkan menyebut terdapat jutaan orang yang berpartisipasi. Mereka semua berkabung dan berduka atas kepergian Soleimani.
Rakyat Iran tampaknya memang sangat memuja dan mencintai sosok jenderal berusia 62 tahun tersebut. Tak sedikit dari mereka yang menjerit dan berurai air mata saat menghadiri prosesi pemakamannya.
Namun, ada pula yang mengekspresikan kemarahannya terhadap AS. Kerumunan massa meneriakkan "kematian bagi Amerika". Di antara mereka terdapat poster bertuliskan "Adalah hak kami untuk membalas dendam yang keras".
Sekutu Iran di kawasan turut hadir dalam proses pemakaman Soleimani, termasuk Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh. "Saya menyatakan bahwa komandan martir Soleimani adalah martir Yerusalem," ujarnya.
Kepala Pasukan Garda Revolusi Dirgantara Amirali Hajizadeh menilai ada satu hal yang dapat dilakukan untuk membalas kematian Soleimani. "Bahkan, membunuh Trump bukanlah balas dendam yang memadai. Satu-satunya hal yang dapat membayar darah martir Soleimani adalah benar-benar mengusir Amerika dari kawasan ini," kata dia.
Soleimani tewas akibat serangan udara AS di Bandara Internasional Baghdad, Irak, pada Jumat (3/1). Dengan mengerahkan drone atau pesawat nirawak, Washington meledakkan konvoi Popular Mobilization Forces (PMF), pasukan paramiliter Irak yang memiliki hubungan dekat dengan Iran. Soleimani berada di dalam konvoi tersebut.
Soleimani merupakan tokoh militer Iran yang memiliki pengaruh besar di Timur Tengah. Ia dipercaya memimpin Pasukan Quds, sebuah divisi atau sayap dari Garda Revolusi Iran yang bertanggung jawab untuk operasi ekstrateritorial, termasuk kontraintelijen di kawasan.
Duta Besar Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi mengatakan, pembunuhan atas Soleimani merupakan tindakan perang. Menurut dia, Iran layak melakukan aksi balasan. "Pasti akan ada balas dendam, balas dendam yang keras. Respons terhadap aksi militer adalah aksi militer. Oleh siapa, kapan, di mana? Itu untuk masa depan, untuk disaksikan," ujar Ravanchi.
Keputusan membunuh Soleimani mengundang kritikan dari berbagai pihak. Cina mengkritik AS karena memperparah ketegangan di Timur Tengah dengan penggunaan kekuatan dalam pertikaian dengan Teheran.
"Politik kekuasaan tidak populer atau berkelanjutan. Perilaku militer berisiko AS dalam beberapa hari terakhir bertentangan dengan norma-norma dasar hubungan internasional," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang.
Geng mengkritik AS karena mengancam sanksi terhadap Irak dalam menanggapi resolusi parlemen Irak yang menyerukan pasukan asing lainnya untuk meninggalkan negara itu. "Kami berharap negara-negara yang relevan, terutama negara-negara besar di luar kawasan, dapat berbuat lebih banyak untuk mempromosikan perdamaian dan keamanan kawasan Timur Tengah dan menghindari mengambil tindakan yang meningkatkan ketegangan regional," katanya.
Tampak pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, memimpin doa di hadapan peti jenazah Jenderal Soleimani yang dibunuh di Irak oleh drone AS, Senin (6/1). Jenazah Soleimani disemayamkan di Universitas Tehran, Iran.
Pengaruhi harga minyak
Meningkatnya ketegangan antara AS dan Iran telah menyebabkan harga minyak mentah naik mencapai 70 dolar AS per barel pada Senin (6/1). Hal itu terjadi untuk kali pertama dalam lebih dari tiga bulan terakhir.
Kontrak minyak Brent menyentuh level tertinggi, yakni 70,74 dolar AS per barel dari 69,92 dolar AS per barel. Jumlah itu merupakan kenaikan tertinggi sejak fasilitas pengolahan minyak Arab Saudi, Saudi Aramco, diserang pada September 2018.
Pasar saham juga turun di tengah kekhawatiran tentang akan adanya aksi pembalasan dari Iran terhadap AS. "Pasar khawatir tentang potensi pembalasan, khususnya pada infrastruktur energi dan minyak di kawasan itu," kata mantan kepala analis minyak di International Energy Agency, Antoine Halff.
Menurut dia, Iran bisa saja memilih untuk melumpuhkan fasilitas minyak utama di kawasan. "Ia memiliki kapasitas teknis untuk melakukannya," ujar Halff.
Pendapat serupa dikemukakan peneliti energi dan geopolitik dari Rice University, Jim Krane. Dia berpendapat, Iran bisa saja membidik infrastruktur minyak di Timur Tengah. "Menargetkan infrastruktur minyak dapat menaikkan harga dan membawa kesulitan ekonomi dunia serta menempatkan Iran di posisi terdepan," kata Krane.
Dibandingkan dengan metode serangan lain, menargetkan situs energi juga tak menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa. "Ini adalah opsi yang lebih aman dalam hal virulensi pembalasan," ujar Krane.
Jika Iran memilih opsi tersebut, hal itu akan berdampak besar dan menjadi bencana bagi perekonomian global. Pasalnya, pasar minyak memengaruhi industri energi padat lainnya, seperti maskapai penerbangan, pengiriman, dan petrokimia.
Beberapa ahli mengatakan, dampak krisis geopolitik Timur Tengah terhadap harga minyak mungkin tak sebesar dahulu. Industri energi AS, misalnya, dapat meningkatkan produksi minyak serpih atau shale oil di tempat-tempat seperti Texas. n reuters/ap ed: yeyen rostiyani