Selasa 07 Jan 2020 15:54 WIB

Defisit Indonesia Masih Lebih Baik Dibandingkan Peer Country

Besaran defisit APBN sampai akhir 2019 mencapai Rp 353 triliun atau 2,2 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Defisit APBN melebar
Foto: Republika
Defisit APBN melebar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2,2 persen sepanjang 2019 masih lebih baik dibandingkan negara berkembang lain. Beberapa di antara mereka menghadapi defisit lebih dalam dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan pencapaian Indonesia. 

Kemenkeu mencatat, besaran defisit APBN sampai akhir 2019 mencapai Rp 353 triliun atau 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 269,4 triliun atau 1,82 persen terhadap PDB. Realisasi defisit tahun lalu juga lebih dalam dibandingkan proyeksi semula dalam Undang-Undang APBN 2019, Rp 296 triliun atau 1,84 dari PDB.

Sri memberikan contoh beberapa negara yang mengalami defisit lebih dalam, termasuk India. Negara yang dikenal sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia ini harus menghadapi defisit APBN hingga 7,5 persen, lebih parah dibandingkan tahun 2018 yaitu 6,4 persen.

"Vietnam pun masih kontraksi 4,4 persen, meskipun pertumbuhannya memang tinggi, sekitar tujuh persen," ucapnya dalam konferensi pers kinerja APBN 2019 di kantornya, Jakarta, Selasa (7/1). 

Sri menyebutkan, defisit APBN Indonesia yang masih terjaga dikarenakan pemerintah mampu memfungsikan APBN sebagai countercyclical. Dampaknya, instrumen ini mampu memberikan stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi. 

Setidaknya ada dua upaya pemerintah dalam mengoptimalkan peran APBN 2019. Pertama, memberikan insentif perpajakan, sementara fungsi Automatic stabilizer Pajak berjalan dalam merespon perekonomian. Kedua, memprioritaskan belanja negara untuk sektor produktif dalam menunjang pertumbuhan ekonomi. 

Pada 2020, Sri menilai, perekonomian global diperkirakan akan membaik setelah mengalami perlambatan signifikan pada 2019 sehingga pemerintah menargetkan defisit APBN dapat menyentuh 1,76 persen. Tapi, masih ada beberapa risiko yang dapat mempengaruhi outlook. "Di antaranya ketidakpastian perang dagang dan perlambatan beberapa negara berkembang maupun besar seperti India dan Cina," katanya. 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebutkan, salah satu risiko yang akan terus dipantau pemerintah adalah gejolak harga minyak. Pada awal tahun, dinamika harga minyak dunia sudah terasa seiring dengan peningkatan tensi di Timur Tengah dengan Amerika. 

Suahasil menyebutkan, dampak dari suatu kejadian ke harga minyak dunia cenderung cepat. Oleh karena itu, pemerintah terus memperhatikan tren ini. "Tapi, dampak ke APBN tentu akan terpengaruh dari variabel lain. Kursnya gimana, lifting minyak dan gas seperti apa. Itu semua kita perhatikan terus," ujarnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement