REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gusti Ayu Surtiari mengatakan program naturalisasi dan normalisasi sungai harus didukung relokasi yang tidak merugikan masyarakat. Dengan begitu, masyarakat bisa mendukung program pengendalian banjir tersebut.
"Relokasi kita tidak bisa bilang kalau itu tidak baik dan itu solusi yang terbaik juga tidak bisa," kata Ayu dalam konferensi pers di LIPI, Jakarta, Selasa (8/1).
Ayu menuturkan normalisasi dan naturalisasi sungai, pembuatan tanggul serta relokasi termasuk dalam kegiatan adaptasi terhadap bencana. Namun, yang perlu dipastikan adalah adaptasi itu harus bersifat jangka panjang, misalnya tanggul dibangun lebih tinggi dan tebal agar tidak mudah jebol, karena kalau jebol akan mengancam keselamatan warga yang tinggal di sekitar tanggul. Dan juga harus dipastikan bahwa masyarakat menjaga tanggul dan tidak menambah aktivitas tambahan di sepanjang tanggul, misalnya membangun bangunan atau kios yang langsung berdampingan dengan tanggul.
Demikian pula, program naturalisasi dan normalisasi sungai Ciliwung butuh relokasi, dan harus benar-benar dipikirkan dan dirancang relokasi yang benar agar tidak merugikan masyarakat. Agar masyarakat ingin direlokasi, maka mereka harus memahami alasan pentingnya relokasi itu sehingga persepsi mereka harus disamakan, dan mereka harus memperoleh informasi yang benar serta mendapat kepastian bahwa mereka bisa menjalankan kehidupan yang baik di tempat tinggal yang baru. Tindakan masyarakat akan dipengaruhi dari informasi yang diterima.
"Informasi dari mana saja apapun itu harus sampai ke level individu karena tiap individu akan beradaptasi," ujarnya.
Ayu melanjutkan, idealnya dalam relokasi itu ada empat tahap yakni perencanaan, proses penyesuaian, memastikan warga yang direlokasi bisa mendapat keuntungan baru, serta serah terima hunian baru. Dan itu jangka waktunya bisa 5- 20 tahun. Tapi, jangka waktunya bisa lebih pendek asalkan empat tahapan itu dilakukan.
Ketika warga dipindahkan atau direlokasi ke rusun, maka harus dilihat mereka mampu bertahan atau tidak, jangan sampai setelah bulan ketujuh mereka tidak dapat bertahan dan kembali ke tempat awal mereka tinggal di sekitar sungai.
Kebutuhan mereka dalam menjalankan aktivitas harus difasilitasi seperti transportasi yang ada setiap saat untuk mereka dapat pergi dan berangkat kerja di jam-jam yang tidak dibatasi. Sebagai contoh, kapal tiap pagi dan malam disediakan sebagai transportasi dari Marunda ke Muara Baru, bis dan taksi juga sudah masuk wilayah relokasi, namun harus dilihat ada masalah lain muncul yakni tidak semua pekerja yang direlokasi itu bekerja di sektor formal dengan jam rutin berangkat dan pulang kerja di jam tertentu.
Karena banyak dari mereka juga bekerja di sektor informal, di tempat pelelangan ikan, yang jam kerjanya tidak menentu. Ini yang kemudian menjadi masalah baru yang membuat masyarakat merasa tidak mendapat keuntungan setelah direlokasi atau mendapat beban untuk menjalankan aktivitas ekonomi mereka.