Rabu 08 Jan 2020 08:00 WIB

Mencari Opsi Kenaikan BPJS yang tak Memberatkan Rakyat

Kenaikan BPJS membuat masyarakat memilih turun kelas BPJS.

Warga meninggalkan Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020).
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warga meninggalkan Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Adinda Pryanka, Wilda Fizriyani

Kenaikan tarif BPJS dipastikan akan memberatkan rakyat. Pemerintah namun harus menaikkan tarif BPJS karena tidak sanggup menanggung beban defisit BPJS.

Baca Juga

Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan meminta agar kenaikan tarif BPJS Kesehatan tidak memberatkan rakyat. Ia menilai seharusnya pemerintah memilih opsi yang lebih meringankan beban masyarakat.

"Saya pikir iuran kesehatan jangan memberatkan rakyat lah. Kalau toh ada kenaikan, kenaikan itu harusnya tidak memberatkan dan kalau bisa ada subsidi silang," kata Syarief saat ditemui di kantornya, Senayan, Jakarta, Selasa (7/1).

Syarief menilai, seharusnya pemerintah lebih sensitif dalam melihat dinamika yang terjadi di masyarakat ihwal kenaikan BPJS kesehatan ini. Harusnya, kata Syarief, masyarakat yang memiliki penghasilan rendah menjadi perhatian utama pemerintah.

Politikus Demokrat ini mengklaim, opsi kenaikan BPJS ini tak pernah menjadi opsi populis di DPR RI. Dalam rapat, kata Syarief, mayoritas fraksi menolak opsi tersebut, termasuk Demokrat.

"Banyak masukan yang disampaikan oleh anggota fraksi Demokrat kepada pemerintah. Intinya jangan memberatkan rakyat," ujarnya.

Namun, pemerintah akhirnya tetap menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan per tahun 2020 ini. Saat ditanya apakah artinya pemerintah tak mengindahkan rekomendasi parlemen, Syarief enggan berbicara secara rinci.

"Kalau dibilang pemerintah tidak dengar DPR, saya pikir sih itu kan ada prosesnya, apa iya begitu," ujar Syarief menambahkan.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tidak akan menyuntikkan dana tambahan lagi untuk BPJS Kesehatan pada tahun ini seperti yang sudah dilakukan tahun lalu. Kebijakan ini diambil meskipun ada sekitar 9,8 juta peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas III atau peserta mandiri yang masih menunggak iuran.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kenaikan besaran iuran untuk peserta mandiri diharapkan dapat mencukupi kebutuhan BPJS Kesehatan. "Mereka (BPJS Kesehatan) juga menyampaikan dapat menjaganya di tahun 2020 dan seterusnya," ucapnya dalam pemaparan kinerja APBN 2019 di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Selasa (7/1).

Kenaikan iuran per bulan itu tertuang dalam Peraturan Presiden 82 (Perpres) Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang berlaku per 1 Januari 2020. Regulasi tersebut menyebutkan, iuran PBPU kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu.

Sementara itu, kelas II naik menjadi Rp 110 ribu dari sebelumnya Rp 51 ribu. Dan iuran peserta kelas I naik menjadi Rp 160 ribu dari yang sebelumnya Rp 80 ribu.

Tidak hanya kelas mandiri, kenaikan iuran juga diberlakukan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang selama ini dibayarkan oleh pemerintah. Dalam Pasal 29 Perpres 82/2019, disebutkan bahwa iuran PBI menjadi Rp 42 ribu dari yang sebelumnya Rp 25.500. Kenaikan iuran ini berlaku lebih cepat, yaitu 1 Agustus 2019.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani menjelaskan, kenaikan iuran BPJS untuk PBI sudah menambah alokasi anggaran pemerintah sebanyak Rp 20 triliun pada 2020. Dengan begitu, total belanja pemerintah pusat untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai lebih dari Rp 40 triliun. "Ini kebijakannya sudah komprehensif untuk perbaikan jaminan kesehatan masyarakat," katanya.

photo
Petugas BPJS Kesehatan Siap Membantu (BPJS SATU) memberikan informasi kepada calon pasien RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, Kamis (19/12).

Setelah penambahan anggaran ini, Askolani berharap, ada perbaikan jaminan kesehatan dari pemerintah termasuk dengan BPJS Kesehatan menindaklanjuti hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kementerian Kesehatan pun diharapkan dapat terus memperbaiki kebijakan pelayanan kesehatan. Sehingga tidak ada lagi kebutuhan suntikan dana tambahan seperti yang dilakukan pada tahun lalu.

Askolani menuturkan, anggaran dari Kemenkeu tidak akan bertambah sekalipun ada isyarat dari Kementerian Sosial (Kemensos) untuk mengalihkan 9,8 juta peserta mandiri kelas III menjadi peserta PBI. Mereka diketahui masih menunggak iuran BPJS Kesehatan sampai akhir 2019.

Askolani menuturkan, sebanyak 9,8 juta orang tersebut bisa saja dijadikan sebagai PBI dengan ketentuan beberapa ketentuan. Salah satunya, mereka memang layak masuk dalam kategori PBI.

Ketentuan berikutnya, Kemensos tetap dapat menjaga kuota PBI yang sudah ditetapkan sejak awal. Yaitu 98,6 juta orang.

Saat ini, Askolani mengatakan, Kemensos sebagai kementerian teknis sedang mengevaluasi data peserta BPJS Kesehatan yang masuk dalam kategori PBI. Menurutnya, ada beberapa peserta PBI yang sebenarnya mampu membayar iuran mandiri.

"Di luar itu, ada yang layak masuk ke PBI. Ini yang akan dievaluasi sama Kemensos, sehingga bantuan diberikan tepat sasaran," katanya.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan membuat sejumlah peserta terpaksa harus menurunkan kelas demi tetap mendapatkan fasilitas kesehatan. Peserta BPJS Kesehatan Malang, Ika Setiawati mengaku keberatan dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kebijakan itu membuatnya dan keluarga harus menurunkan kelas dari II ke III.

"Berat ya, belum lagi untuk memenuhi kebutuhan lainnya," ujar Ika saat ditemui wartawan di Kantor BPJS Kesehatan Malang, Jumat (3/1).

Pejabat Pengganti Sementara (PPS) Kepala BPJS Kesehatan Malang, Chandra Jaya mengungkapkan, total peserta yang mengubah kelas per Desember 2019 di Malang sekitar 2.422 orang. "Itu termasuk yang naik dan turun kelas," ujar Chandra.

Lebih detail, Chandra mengatakan, terdapat 333 peserta kelas I memilih turun ke kelas II. Sementara peserta kelas II yang turun ke kelas III sebanyak 1.569 orang. Chandra tak menampik, penurunan kelas II ke III paling banyak terjadi di Malang.

Chandra berpendapat, penurunan kelas BPJS ini tidak lepas dari kemampuan peserta. Mereka tidak bisa mengeluarkan iuran BPJS yang naik 100 persen. Oleh sebab itu, penurunan kelas menjadi salah satu pilihan terbaik.

Di sisi lain, kenaikan iuran BPJS tidak memberikan pengaruh besar untuk beberapa peserta. Hal ini terbukti adanya rekaman data peserta yang memilih naik kelas. Sebanyak delapan peserta BPJS memilih naik kelas dari II ke I.

"Sedangkan dari kelas III ke I ada satu peserta. Lalu enam peserta naik ke kelas II dari III," ucap Chandra.

photo
Infografis BPJS.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement