REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Thailand berhasil membebaskan 1.807 korban perdagangan manusia sepanjang tahun lalu. Menurut data pemerintah Thailand, jumlah korban melonjak dari 622 pada 2018, sedangkan jumlah tertinggi adalah 982 pada 2015.
Sekitar 60 persen dari mereka yang diselamatkan tahun lalu adalah perempuan dan sebagian besar adalah pekerja yang diperdagangkan. Hampir tiga perempat dari mereka adalah migran Burma yang menuju Malaysia.
Thailand telah meningkatkan upaya untuk mengatasi perdagangan dalam beberapa tahun terakhir. Upaya ini di bawah pengawasan dari Amerika Serikat dan mengikuti kritik atas kegagalannya untuk menghentikan perdagangan dalam industri makanan laut bernilai jutaan dolar, serta perdagangan seks.
Lonjakan besar dalam jumlah korban yang ditemukan oleh pihak berwenang dapat memberi tekanan pada sembilan tempat penampungan yang dikelola pemerintah. "Ini membuat anggaran (untuk korban) menjadi terganggu dan memengaruhi kemampuan petugas untuk memberikan dukungan terutama ketika jumlah petugas sudah sedikit," kata pengacara independen dengan keahlian dalam bidang perdagangan manusia Papop Siamhan, dilansir dari The Guardian.
Mereka yang diidentifikasi sebagai korban perdagangan manusia dapat memilih untuk menerima bantuan dari pemerintah. Bantuan itu termasuk tinggal di tempat penampungan dan diberi kompensasi melalui dana negara yang menyediakan biaya hidup dan rehabilitasi.
Para korban juga berhak atas bantuan hukum dan kesempatan kerja sambil menunggu persidangan untuk memberikan bukti atau dikembalikan ke rumah. Namun, aktivis dari Yayasan Hak Asasi Manusia dan Pembangunan Chonticha Tangworamongkon mengatakan, ada khawatir semakin banyak korban trauma akan berjuang untuk menerima perawatan individual.
"Ketika sekelompok besar orang memasuki tempat penampungan, akan sulit untuk memberi mereka hak-hak mereka, seperti perawatan kesehatan," kata Tangworamongkon.
Thailand adalah rumah bagi sekitar 4,9 juta migran dengan 10 persen sebagai tenaga kerja. Sebagian besar mereka berasal dari negara-negara tetangga yang lebih miskin seperti Myanmar, Kamboja dan Vietnam dan rentan terhadap perdagangan.