REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik antara Iran dan Amerika yang makin panas awal tahun ini membuat Pertamina perlu melakukan langkah pengamanan para pekerja yang saat ini bekerja di Irak yang mengelola lapangan di sana.
VP Coorporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman, menjelaskan Pertamina memiliki asset di Irak di lapangan West Qurna 1, dimana yg bertindak selaku operator di sana adalah Exxon. Karena tensi tinggi di wilayah tersebut maka Pertamina perlu mengambil langkah preventif untuk keamanan para pekerja.
"Pertamina untuk sementara kita menarik para secondee expat kita di irak sementara ditempatkan di Dubai dahulu dan akan kembali ke Irak segera setelah kondisi lebih kondusif," ujar Fajriyah kepada Republika, Rabu (8/1).
Ia menjelaskan dari sisi pekerjaan pengeboran dan penyaluran tetap dilakukan namun diawaki oleh staf-staf setempat. Ia mengatakan perusahaan akan tetap menjaga kerjasama dengan para investor. "Kami tetap berkomitmen untuk menjadi mitra strategis dan terpilih dalam pengelolaan sumber daya di Irak," ujar Fajriyah.
Sebelumnya, Chevron telah menarik keluar pekerja ekspatriat dari wilayah operasi migas di utara Irak setelah konflik pecah di Timur Tengah. Dilansir dari Reuters, Chevron menyatakan sejumlah kontingen kecil yang terdiri dari pekerja ekspatriat dan kontraktor sementara telah meninggalkan wilayah operasi migas di Kurdistan.
Perusahaan migas asal AS itu memiliki wilayah operasi migas di Irak yang ditargetkan bisa memproduksi 20 ribu barel minyak per hari (bopd) pada pertengahan tahun ini. Operasi wilayah kerja tersebut dilanjutkan oleh staf lokal dan pekerja ekspatriat bakal bekerja dari jarak jauh.
Pemerintah AS pada pekan lalu menginstruksikan warga negaranya untuk pergi dari Iran. Ahad (5/1) malam, Presiden AS Donald Trump bahkan mengirim tambahan 3.000 pasukan ke Kuwait untuk memperkuat keberadaan militer AS di Timur Tengah. Hal itu disampaikan setelah serangan udara AS membunuh Komandan Militer Iran Qasem Soleimani dan Komandan Militer Irak Abu Mahdi al-Muhandis. AS menuding Soleimani merencanakan serangkaian serangan yang bisa membahayakan pasukan AS dan para diplomat di Timur Tengah.