REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Akademisi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Johanes Tuba Helan menilai hukuman lompat jingkrak yang diberikan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat kepada bawahannya mencederai etika berbirokrasi yang benar.
"Sangat tidak etis ketika gubernur memberikan hukuman kepada bawahan dengan lompat-lompat di depan publik, itu tidak sesuai dengan cara birokrasi yang baik dan benar," kata Johannes, Kamis (9/1).
Johanes menanggapi sikap Gubernur NTT yang memberikan hukuman lompat jingkrak kepada bawahan baik di kalangan pemerintahan maupun di perbankan. Sedikitnya, hukuman lompat jingkrak sudah dua kali diterapkan, di antaranya kepada Kepala Biro Pemerintahan Setda NTT bersama sejumlah staf karena masalah gangguan pengeras suara dalam acara rapat kerja tahunan. Rapat kerja tersebut dihadiri ribuan orang dari unsur kepada desa, camat, dan kepala daerah kabupaten/kota se-NTT pada Oktober lalu.
Hukuman serupa kembali diberikan kepada dua kepala divisi Bank NTT akibat kesalahan penempatan tanda tangan pada sebuah dokumen dalam acara pelantikan Direktur Umum Bank NTT pada Selasa, 7 Januari 2020 di hadapan pimpinan unsur forkopimda, para bupati, dan undangan. Menurut Johanes, dari sisi aturan dan sopan santun, hukuman fisik seperti ini sangat tidak etis diberikan seorang gubernur kepada bawahan lalu dipertontonkan di hadapan publik.
“Jauh lebih etis kalau gubernur memanggil mereka yang bersalah kemudian memberikan sanksi di tempat tertutup dan dengan tegas mengingatkan agar jangan mengulangi kesalahan lagi,” katanya.
Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu mengatakan, hukuman fisik seperti ini seolah-olah dianggap wajar karena orang yang mendapat hukuman juga menuruti begitu saja. Seharusnya, mereka yang mendapat hukuman bisa langsung menolak karena sanksi seperti itu tidak sesuai dengan aturan yang ada.
“Seperti sanksi untuk PNS itu tidak ada hukuman fisik, setiap kesalahan baik ringan, sedang, berat itu sanksinya sudah diatur jelas, demikian juga untuk pimpinan di perbankan itu juga ada mekanisme sesuai hierarki yang ada,” katanya.
Menurut dia, hukuman seperti ini tidak hanya mencederai etika, namun juga memberikan dampak buruk pada pihak lainnya terutama sanaK keluarga yang bersangkutan. "Istri mereka, anak-anak mereka pasti sakit hati karena harus menanggung malu di lingkungan pergaulan mereka," katanya.
Dia mengatakan, sebagai manusia pasti memiliki kesalahan atau kekeliruan, termasuk para pejabat. Karena itu, lanjut dia, gubernur sebagai seorang pemimpin mestinya memberikan sanksi atau pembinaan secara proporsional sesuai perbuatan yang dilakukan.
“Saya kira hukuman fisik seperti ini hanya di NTT, di tingkat pusat maupun daerah-daerah lain tidak ada seperti ini, karena memang tidak sesuai dengan etika dalam menjalankan pemerintahan,” katanya.