Kamis 09 Jan 2020 17:52 WIB

Dua OTT KPK Masih Gunakan Prosedur UU Lama, tanpa Izin Dewas

Dua OTT digelar KPK pada Selasa dan Rabu terhadap Bupati Sidoarjo dan komisioner KPU.

Pintu ruang kerja Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang disegel KPK di Jakarta, Kamis (9/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pintu ruang kerja Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang disegel KPK di Jakarta, Kamis (9/1).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Mimi Kartika, Arif Satrio Nugroho

Dua operasi tangkap tangan (OTT) secara beruntun yang dilakukan KPK terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan komisioner KPU, Wahyu Setiawan beberapa hari ini masih menggunakan prosedur penindakan berdasarkan Undang-undang KPK yang lama. Hal itu dikonfirmasi oleh salah satu anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris.

Baca Juga

"Terkait OTT KPK di Sidoarjo maupun komisioner KPU tidak ada permintaan izin penyadapan kepada Dewas. KPK masih menggunakan prosedur UU yang lama," kata Syamsuddin saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (8/1).

Ia pun menyatakan sangat memungkinkan jika proses penyelidikan dan penyadapan terhadap dua OTT tersebut sudah berlangsung sejak pimpinan KPK jilid IV. "Sangat mungkin penyelidikan dan penyadapan sudah berlangsung sejak kepimpinan KPK jilid IV (Pak Agus cs)," kata dia.

Syamsuddin juga menyinggung soal Dewas KPK yang belum memiliki organ pelaksana seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91. Sehingga, ia tak mempermasalahkan dua OTT tersebut tanpa seizin Dewas KPK.

"Dewas sendiri belum memiliki organ karena Perpres tentang organ Dewas baru turun karena masih transisional dari UU lama ke UU baru, Dewas dapat memahami langkah pimpinan KPK," ucap Haris.

Diketahui, Dewas KPK adalah struktur baru dalam tubuh KPK berdasarkan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK. Tugas Dewan Pengawas antara lain mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK, menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai dan lainnya.

KPK pada Rabu malam telah menetapkan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah bersama lima orang lainnya sebagai tersangka kasus suap terkait pengadaan proyek infrastruktur di Dinas PUPR Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lima orang lainnya, yakni Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Sumber Daya Air Kabupaten Sidoarjo Sunarti Setyaningsih (SST), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Sumber Daya Air Kabupaten Sidoarjo Judi Tetrahastoto (JTE), dan Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Sanadjihitu Sangadji (SSA). Selanjutnya, dua orang dari unsur swasta Ibnu Ghopur (IGR) dan Totok Sumedi (TSM).

Tak itu saja, pada Rabu (8/1), KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap salah seorang komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Wahyu Setiawan. Sampai saat ini, sejumlah pihak yang diamankan masih dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.

[video]  Rentetan Teror Terhadap KPK

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD tak menampik rentetan dua OTT KPK  sudah berproses dari pimpinan sebelumnya dan UU KPK yang lama. Kendati demikian, kata dia, tak ada masalah hukum.

"Proses penyadapannya sudah lama itu sudah pasti ya karena tudak cukup dua bulan menyadap orang sampai OTT. Jadi tidak apa-apa, enggak ada masalah hukum," ujar Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (9/1).

Namun, menurut Mahfud, dua OTT itu tetap di bawah tanggung jawab Dewan Pengawas dan pimpinan KPK periode 2019-2023. Ia menegaskan, berdasarkan asumsi hukumnya, kedua OTT ini sudah di bawah tanggung jawab pimpinan dan dewas yang sekarang.

"Sehingga perintah dan persetujuan pengintipan berdasar undang-undang yang lama itu berlaku tetapi ini harus menjadi tanggung jawab dan diumumkan oleh yang sekarang," kata Mahfud.

Mahfud mengatakan, proses hingga sampai ke penangkapan itu memang pasti memakan waktu lama. Misalnya lanjut dia, proses penyadapan membutuhkan waktu tak cukup dua bulan saja.

"Bahwa proses penyadapannya sudah lama itu sudah pasti ya karena tidak cukup dua bulan menyadap orang sampai OTT. Jadi tidak apa-apa, enggak ada masalah hukum," tutur Mahfud.

Ketua KPK Firli Bahuri mengaku tidak bahagia saat mendengar adanya OTT yang melibatkan kepala daerah. Hal itu disampaikannya di sela sambutan saat Rapat Koordinasi dan Sinergi Penyelenggaraan Pemerintahan di Surabaya, Jatim, Kamis.

"Saya sangat tidak happy (bahagia) jika ada kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK," ujar Firli.

Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, OTT KPK terhadap Bupati Sidoarjo dan komisioner KPK tetap sah karena KPK masih menggunakan UU yang lama dalam mekanisme OTT yang terjadi. Penggunaan UU yang lama tersebut lantaran masih dalam proses transisi.

"Tindakan itu tetap sah karena ada ketentuan peralihan dalam UU KPK yang baru yang masih memberlakukan UU lama sebelum ada pengaturan yang jelas. Tindakan OTT tetap sah secara hukum," kata Abdul Fickar saat dihubungi Republika, Kamis (9/1).

Berdasarkan UU KPK yang terbaru, UU 19/2019, izin Dewas KPK diperlukan untuk melakukan penyadapan. Penyadapan itu lekat dengan aktivitas operasi tangkap tangan.

Namun, formasi Dewas KPK baru saja dilantik Desember lalu, dan belum memiliki organ tetap. Sehingga OTT tetap dapat dilakukan dengan modal penyadapan yang tanpa seizin Dewas KPK.

Kendarti demikian, Abdul Fickar menilai, Dewas tetap perlu mengeluarkan surat pernyataan menyetujui tindakan KPK. "Ini harus ditindaklanjuti oleh Dewas dengan semacam surat pernyataan, mengingat UU baru telah diberlakukan dan mengantisipasi perlawanan dari tersangka," kata Fickar.

photo
Daftar OTT KPK pada 2019

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement