Jumat 10 Jan 2020 09:13 WIB

Banjir Marak Terjadi, Ini Petuah Tokoh Baduy

Tokoh Baduy menasihati agar selalu menjaga keseimbangan alam.

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Teguh Firmansyah
Kondisi Kampung Susukan Desa Bungurmekar, Lebak, Banten, pada Kamis (9/1), usai diterjang banjir bandang 1 Januari lalu.
Foto: Republika/Umar Mukhtar
Kondisi Kampung Susukan Desa Bungurmekar, Lebak, Banten, pada Kamis (9/1), usai diterjang banjir bandang 1 Januari lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK -- Bencana banjir bandang yang terjadi pada awal tahun 2020 menimbulkan puluhan korban jiwa dan ribuan orang mengungsi. Kerusakan berbagai fasilitas umum hingga rumah masyarakat juga mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit nilainya.

Kabupaten Lebak menjadi daerah terdampak cukup parah. Wilayah ini banyak disorot lantaran dekat dengan daerah konservasi hutan yang seharusnya bisa menampung air hujan. Kerusakkan alam di wilayah hulu sungai yang ada di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) diduga menjadi penyebab bencana ini.

Baca Juga

Menanggapi hal itu, Tokoh Suku Baduy sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija mengatakan bahwa peristiwa bencana ini seharusnya menjadi momen instropeksi bagi semua pihak. Ia menyebut bahwa komitmen bersama dalam menjaga alam akan berbuah baik bagi banyak pihak, begitupun sebaliknya.

"Hukum positif memang sepertinya lebih keras dibanding hukum adat ya. Tapi kita yang menjalankan hukum adat percaya semuanya ada karma. Kalau ada yang melanggar hukum adat, diberi peringatan sekali, dua kali maka jika melanggar lagi semua tahu kalau dia akan dapat karmanya. Jadi nasehat saya tentang menjaga alam ini harus semua taat aturan," terang Saija, Kamis (9/1).

Suku Baduy atau masyarakat Desa Kanekes yang tinggal di Kabupaten Lebak, Banten ini, kata Saija, bisa berkomitmen dalam menjaga alam karena pikukuh atau aturan adat mutlak sejak masa pendahulu mereka. Pikukuh dalam kepercayaan Sunda Wiwitan yang mereka anut, bersifat mengikat dan terus dilestarikan hingga kini.

Adapun beberapa pikukuh yang mereka anut adalah gunung teu meunang dilebur, (gunung tak boleh dihancurkan), lebak teu meunang diruksak (lembah tak boleh dirusak), larangan teu meunang ditempak (larangan tak boleh dilanggar), lojor teu meunang dipotong (panjang tak boleh dipotong), pondok teu meunang disambung (pendek tak boleh disambung), nu lain kudu dilainkeun (yang bukan harus ditiadakan), nu ulah kudu diulahken (yang tidak boleh harus tetap tidak boleh), nu enya kudu dienyakeun (yang benar harus dibenarkan).

Suku Baduy juga percaya pada konsep ”tanpa perubahan apapun” dalam kehidupan sehari-hari yang dipraktikkan secara harafiah. Semisal, di bidang pertanian mereka tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, tidak menggunakan listrik, tidak menambang, hingga tidak menggunakan alat modern seperti TV, ponsel atau menaiki kendaraan berbahan bakar.

Untuk membuat masyarakat Baduy tetap taat untuk menjaga aturan pikukuh, terkhusus dalam hal menjaga alam, suku Baduy dikatakan Saija selalu diberi pemahaman secara lahir dan batin.

"Harus melestarikan alam, pikukuh kita, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung. Jangan dikurang-kurangi aturan itu, jangan dilanggar," tambahnya.

Seperti diketahui bencana banjir bandang di Banten saja mengakibatkan korban jiwa sebanyak 10 orang, kerusakan dua ruas jalan, 1.419 rumah, 19 gedung sekolah meliputi PAUD, TK, SD, SMP.  Termasuk bangunan dan tanah SMP 4 Lebakgedong yang hanyut terbawa arus air dan  gedung SDN 1 dan SDN 2 Banjaririgasi Kecamatan Lebakgedong mengalami rusak berat.

Pemprov Banten dalam waktu dekat akan mengkaji penyebab utama bencana ini. Presiden Jokowidodo sendiri telah menyorot pertambangan ilegal di TNGHS dan meminta tindakan perusakan alam ini dihentikan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement