Jumat 10 Jan 2020 10:05 WIB

Kronologi Suap Komisioner KPU yang Libatkan Politisi PDIP

PDIP mengklaim berhati-hati dalam PAW anggota dewan.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan (kedua kiri) mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/1/2020) dini hari.
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Komisioner KPU Wahyu Setiawan (kedua kiri) mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/1/2020) dini hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka setelah terjaring operasi tangkap tangan pada Rabu (8/1) siang kemarin. Wahyu diduga menerima suap terkait penetapan anggota DPR-RI Terpilih tahun 2019-2024. Yakni menjanjikan proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dari Fraksi PDIP.

Selain menetapkan Wahyu sebagai tersangka, KPK juga menetapkan seorang politikus PDIP dan dua orang lainnya sebagai tersangka. "Setelah melakukan pemeriksaan dan sebelum batas waktu 24 jam sebagaimana diatur dalam KUHAP, dilanjutkan dengan gelar perkara, KPK menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan menetapkan empat orang tersangka," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar di gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1).

Baca Juga

Tiga orang lain yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, yakni politikus PDIP Harun Masiku dan Saeful, serta orang kepercayaan Wahyu yang juga mantan anggota Badan Pengawas Pemilu, Agustiani Tio Fridelina. Wahyu dan Agustiani ditetapkan sebagai penerima suap, sedangkan Harun dan Saeful sebagai pemberi suap.

Lili menjelaskan, tindak pidana korupsi diduga berawal pada Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan Doni, seorang advokat, mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. Pengajuan gugatan materi tersebut terkait dengan meninggalnya anggota DPR terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019.

"Gugatan ini kemudian dikabulkan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019. MA menetapkan partai adalah penentu suara dan pengganti antarwaktu," tutur Lili.

Penetapan MA ini kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti anggota DPR terpilih yang meninggal tersebut. Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan caleg PDIP pemilik suara terbanyak kedua di bawah Nazarudin Kiemas, Riezky Aprilia, sebagai pengganti almarhum.

Dua pekan kemudian, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat berisi penetapan caleg. Saeful kemudian menghubungi Agustiani dan melakukan lobi untuk mengabulkan Harun dalam PAW. Selanjutnya, Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saeful kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun. Saat itu, Wahyu menyanggupi membantu dengan membalas, “Siap, mainkan!”

"Untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR-RI pengganti antarwaktu, Wahyu meminta dana operasional Rp 900 juta," ujar Lili.

photo
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar (kanan) bersama Ketua KPU Arief Budiman (kiri) memberikan keterangan saat konferensi pers terkait kasus suap penetapan Anggota DPR periode 2019 - 2024 atas PAW Anggota DPR Fraski PDIP Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1).

Penerimaan suap

Untuk merealisasikan hal tersebut, dilakukan dua kali proses pemberian, yaitu pada pertengahan Desember 2019. Salah satu sumber dana yang saat ini sedang didalami KPK ialah pemberian uang Rp 400 juta yang ditujukan pada Wahyu melalui Agustiani, Doni, dan Saeful. "Wahyu menerima uang dari Agustiani sebesar Rp 200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan," ujar Lili.

Pada akhir Desember 2019, Harun memberikan uang kepada Saeful sebesar Rp 850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP. Saeful memberikan uang Rp 150 juta pada Doni. Sisanya Rp 700 juta yang masih di Saeful dibagi menjadi Rp 450 juta pada Agustiani, Rp 250 juta untuk operasional. Dari Rp 450 juta yang diterima Agustiani sebanyak Rp 400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu. “Uang masih disimpan oleh Agustiani," ungkapnya.

Lili melanjutkan, pada Selasa (7/1), berdasarkan hasil rapat pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal. Kemudian, pada Rabu (8/1), Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola Agustiani. Setelah hal ini terjadi, tim KPK melakukan OTT. Tim menemukan dan mengamankan barang bukti uang Rp 400 juta yang berada di tangan Agustiani dalam bentuk dolar Singapura.

Terkait dugaan suap terkait PAW ini, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengklaim partainya menerapkan aturan tegas terkait PAW anggota dewan. "Terkait PAW kami diikat dengan UU partai dan KPU, nggak ada ruang gerak untuk bermain karena peraturan sangat ketat," kata Hasto Kristiyanto, di Jakarta, Kamis (9/1).

Dia mengaku tidak ada sebuah proses negosiasi untuk melakukan PAW. Hasto juga mengatakan PDIP berhati-hati untuk melakukan PAW.

KPK sempat menggeledah sejumlah tempat untuk mendalami kasus ini, yakni ruang kerja Wahyu di KPU dan kediamannya. Bahkan, KPK sempat ingin menggeledah kantor DPP PDIP, tetapi upaya penggeledahan KPK ditentang pengamanan dalam kantor DPP PDIP. Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Metro Menteng, Jakarta Pusat, Komisaris Polisi Guntur Muhammad Thariq membenarkan penyelidik KPK dilarang masuk ke gedung DPP PDIP.

Menurut Guntur, penyelidik KPK dilarang masuk karena kurangnya persyaratan administrasi terkait penggeledahan. Upaya penggeledahan sempat berujung keributan dengan pengamanan dalam DPP PDIP.

“Iya, tadi memang ada beberapa orang yang ingin masuk ke dalam, tetapi memang karena tak lengkap administrasinya, makanya tak bisa,” kata Guntur di Jakarta, Kamis. N dian fath risalah/rizkiyan adiyudha/mimi kartika/antara, ed: agus raharjo

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement