Jumat 10 Jan 2020 20:28 WIB

Jimly: Tidak Semua Masalah Harus Diselesaikan Secara Hukum

Dia menilai Kongres Umat Islam perlu menyuarakan pendekatan nonhukum.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ani Nursalikah
Jimly: Tidak Semua Masalah Harus Diselesaikan Secara Hukum. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie (ilustrasi).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Jimly: Tidak Semua Masalah Harus Diselesaikan Secara Hukum. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menuturkan Kongres Umat Islam VII 2020 harus menyuarakan tidak semua perbuatan melanggar hukum harus langsung dipidanakan. Hal ini dia sampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Arah Baru Perjuangan Umat Islam Bidang Hukum" di kantor MUI, Jakarta, Jumat (10/1).

"Ini harus disuarakan oleh Kongres Umat Islam. Jadi jangan semua masalah diselesaikan secara hukum. Hukum ini harus dijadikan upaya terakhir," ujar Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia itu.

Baca Juga

Jimly mengimbau bila ada masalah atau perkara selesaikan dulu dengan pendekatan nonhukum. "Jjangan buru-buru dengan hukum, dengan pendekatan nonhukum. Bagaimana? Nggak usah semuanya dengan pengadilan. Selesaikan dengan mediasi, arbitrase," ujarnya.

Jimly kemudian mencontohkan kasus perkara perceraian yang jumlahnya meningkat setelah Reformasi 1998. Kasus-kasus seperti ini seharusnya dapat diselesaikan melalui institusi nonperadilan. Misalnya, dengan memfungsikan masjid dan organisasi kemasyarakatan untuk membantu bagaimana mengatasi gejala yang terjadi dalam sebuah keluarga.

"Harus jadi gerakan besar, ormas Islam, dan masjid untuk mencegah konflik agar tidak menggunakan pendekatan hukum. Kita harus menggerakkan ormas-ormas. Jadi kita jangan hanya mengandalkan khutbah formal di masjid. Jadi fungsi mediasi non-peradilan ini harus kita gerakkan," ujarnya.

Apalagi Jimly mengakui penjara yang ada saat ini sudah melebihi kapasitas. Bahkan secara nasional, kelebihan kapasitas ini telah mencapai 200 persen. Jimly mengungkapkan, MUI juga perlu terlibat lebih jauh dalam menghidupkan akhlak yang mulia secara konkret sehingga tidak sekadar menjadi retorika.

"Tapi kita konkretkan dengan praktik adab. MUI, ormas Islam, beserta kongres umat Islam nanti menggerakkan kesadaran baru karena intinya ajaran Islam itu tercermin di akhlak," ujarnya.

Jimly juga menyampaikan, akhlak adalah ujung dari keseimbangan antara akidah dan fikih. "Kalau fiqih oriented, itu hasilnya rasionalistik. Tapi kalau akidah oriented itu ujungnya demo. Jadi kita harus seimbang antara akidah, syariah, fiqih, yang ujungnya adalah akhlak. Saatnya mendorong bukan hanya akhlak retorik tapi yang dikonkretkan dengan sistem adab bernegara, adab berbangsa," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement