REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Arwani Thomafi meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperkuat sistem pengawasan internal. Hal tersebut agar kasus suap yang menyeret Komisioner KPU Wahyu Setiawan, terkait perkara PAW tidak terjadi lagi.
"KPU harus membuat sistem pengawasan di internal yang kokoh agar peristiwa OTT ini tidak terjadi di kemudian hari," kata Arwani di Jakarta, Jumat (10/1).
Arwani menilai, sebenarnya aturan terkait PAW sudah tegas diatur dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sehingga semua pihak jangan ada yang "bermain-main" terkait aturan tersebut. Menurutnya, KPU bekerja melaksanakan ketentuan dalam UU sehingga harus tinggal menjalankan saja aturan tersebut.
"Jadi sudah benar untuk KPU tetap tegas dalam mengambil keputusan sesuai dengan UU," ujarnya.
Dalam Pasal 426 Ayat 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya. Selain itu, Arwani menilai KPU sebagai lembaga tidak boleh terpengaruh dengan kasus dugaan suap yang dilakukan Wahyu.
Menurutnya, KPU harus segera melakukan konsolidasi di internal dan ciptakan sistem yang transparan dan akuntabel agar kejadian serupa tidak terjadi di waktu mendatang. "Ciptakan kembali kepercayaan publik terhadap kerja KPU yang menurun setelah kasus ini," ucapnya.
Terkait dengan Pilkada 2020, dia menyarankan agar KPU Pusat, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota tetap fokus menyiapkan berbagai tahapan pelaksanaan Pilkada. Dia menegaskan bahwa kritik dan ketidakpuasan terhadap KPU paska peristiwa OTT harus dijawab dengan kinerja yang jauh lebih baik dan transparan.
Sebelumnya, dalam perkara kasus dugaan suap terkait proses PAW anggota DPR RI terpilih dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 2019-2024, KPK menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka.
Wahyu diduga menerima suap Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku agar menetapkan Harun menjadi anggota DPR daerah pemilihan Sumatera Selatan I agar menggantikan caleg DPR terpilih Fraksi PDIP dari dapil Sumsel I yaitu Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Untuk memenuhi permintaan Harun tersebut, Wahyu meminta dana operasional sebesar Rp900 juta. Namun dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp600 juta.