REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Legal Culture Institute (LeCI) M Rizqi Azmi menyesalkan struktur KPU yang ikut bermain dalam kasus dugaan suap terkait Pergantian Antarwaktu (PAW) caleg DPR dari PDIP. Menurut Azmi, ini menjadi catatan terburuk demokrasi Indonesia.
"Ini bisa menjadi catatan terburuk di awal tahun terkait proses demokrasi di indonesia. Oleh karena itu kami meminta harus diadakan investigasi mendalam terkait keterlibatan komisioner KPU," ujarnya dalam pesan singkat, Jumat (10/1).
KPK, kata Azmi, harus membuka dan melakukan penyelidikan dan penyidikan secara mendalam keterlibatan DPP PDIP dalam kasus ini. Tentunya dalam instruksi PAW, koordinasi dengan pimpinan DPP sangat signifikan.
"Dalam penelitian LeCI tentang peran partai dalam korupsi, maka terlihat jelas alur komando dari pimpinan partai terhadap perintah yang menyebabkan lahirnya KKN," kata Azmi.
Lebih lanjut, ia menjelaskan alur scientific revolution of corruption menyebutkan peranan kelompok terhadap timbulnya indikasi korupsi berada pada urutan kedua setelah personal power. Oleh karenanya, sambung dia, ini merupakan momen penting bagi KPK untuk memberikan pesan anti korupsi yang paripurna sebelum perhelatan pilkada 2020.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerimaan suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. KPK juga turut menetapkan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, caleg DPR dari PDIP, Harun Masiku serta seorang swasta bernama Saeful.
KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total sebesar Rp 900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.
Penetapan tersangka ini dilakukan KPK setelah memeriksa intensif delapan orang yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (8/1) kemarin.