REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Tensi perang dagang diperkirakan menurun seiring rencana pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan Cina menandatangani perjanjian perdagangan tahap awal. Tapi, perusahaan-perusahaan Cina tetap menyediakan plan B atau rencana darurat. Mereka tidak ingin mengambil risiko apabila perang tarif kedua negara terus berlanjut.
Dilansir di AFP, Ahad (12/1), para produsen dan pemasok masih memiliki kekhawatiran besar terhadap pembatalan perjanjian dagang AS engan Cina, sekalipun nantinya kedua belah pihak sudah menandatangani komitmen baru. Keresahan ini terdengar di tengah rencana kunjungan Wakil Presiden Menteri Cina Liu He ke Washington pada Senin (13/1) hingga Rabu (15/1).
Alih-alih fokus pada perjanjian, industri justru sudah memiliki beberapa rencana terburuk. Mulai dari mencari pasar baru di luar negeri, meningkatkan produksi untuk dipasarkan di dalam negeri atau memindahkan produksi ke luar negeri.
Kesepakatan dagang Fase Satu sedang diupayakan oleh kedua negara. Kesepakatan yang digagas pada perundingan di Washington pada Oktober 2019 ini mencakup pembelian lebih banyak produk pertanian AS oleh Cina. Kesepakatan ini mengisyaratkan penurunan tensi konflik dagang dua ekonomi besar dunia yang sudah terjadi selama hampir dua tahun belakangan.
CEO D&S Products Factory, perusahaan basis Hong Kong, Alfred Wong mengatakan, pihaknya belum dapat memproyeksikan kondisi yang terjadi dalam waktu dekat. "Sekalipun mereka (pemerintah AS dengan Cina menandatangani kesepakatan Fase Satu, kita tidak tahu apakah keadaan akan berubah pada tahap selanjutnya," ucapnya.
Wong sudah melakuka langkah inisiatif. D&S Products yang membuat produk keamanan anak dan kartu ucapan itu telah memindahkan hampir sepertiga produksinya ke Srilanka sejak September sebelum terpukul terlalu keras oleh tarif yang ada.
Wong mengatakan, klien tidak mungkin memberikan penawaran baru jika tidak mengadopsi strategi ‘Cina plus satu’. Strategi ini dilakukan perusahaan dengan mendiversifikasi operasi di luar negara tersebut.
Wong menambahkan, jumlah pesanan terus menurun. Sebagian besar di antaranya dikarenakan ketidakpastian atas potensi kenaikan tarif. “Bahkan jika Presiden Donald Trump tidak ada di kantor, AS masih bisa mengambil tindakan terhadpa Cina. Segalanya tidak mungkin kembali seperti sebelum perang dagang,” ujarnya.
Dampak perang dagang juga dirasakan oleh perusahaan komponen logam basis Shanghai, EverSkill M&E. CEO perusahaan, Jason Lee, mengatakan bahwa pasar AS berkontribusi 60 persen dari total penjualan sebelum perang dagang yang kini turun menjadi sekitar 40 persen.
Perusahaan Lee kini harus mencari lebih banyak klien di luar AS untuk menebus kekurangan pendapatan. "Dalam jangka panjang, sebagai pemasok asal Cina, kami hanya dapat fokus meningkatkan produk kami dan memastikan kualitas mereka lebih baik dibandingkan tempat lain. Itu solusi paling mendasar," katanya.
Upaya lain dilakukan pembuat robot vacuum-cleaner yang memiliki kantor pusat di Shenzhen, Silver Star. Alih-alih memperluas pasar ke luar negeri, mereka berusaha meningkatkan pangsa pasarnya di Cina melalui e-commerce.
"Kebijakan ekonomi makro kini tidak menguntungkan pemilik bisnis kecil seperti kita," ujar kepala eksekutif perusahaan Ludwig Ye.
Beberapa perusahaan juga kini harus mengurangi aktivitas penelitian dan pengembangan (litbang) untuk produk baru selama tahun lalu. Kondisi ini terjadi pada produsen gadget dapur Ko Fung.
Direktur Pelaksana Ko Fung, Kim Ng, mengatakan bahwa penurunan litbang memiliki dampak besar pada bisnis. Sebab, produksi barang baru biasanya baru dapat dilakukan setelah melalui proses penelitian dan pengembangan.
Ng menambahkan, potensi pemotongan tarif dalam kesepakatan Fase Satu tidak akan besar. Ia memproyeksikan, pemotongan dilakukan dari 15 persen menjadi 7,5 persen terhadap sekitar 120 miliar dolar AS produk impor Cina.
"Presiden Trump menyerang Cina untuk meningkatkan popularitasnya dan ini adalah tahun pemilihan presiden AS. Saya melihat, tahap-tahap perundingan selanjutnya akan lebih sulit,” ujar Ng.