Senin 13 Jan 2020 17:27 WIB

Hikmahanto Sarankan Backdoor Diplomacy untuk Konflik Natuna

Backdoor diplomacy terkait Natuna dapat dilakukan oleh tokoh Indonesia dan China.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Andri Saubani
Guru Besar Hukum Internasional UI Prof Hikmahanto Juwana saat menjadi pembicara dalam Forum Diskusi Legislasi di Media Center, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Guru Besar Hukum Internasional UI Prof Hikmahanto Juwana saat menjadi pembicara dalam Forum Diskusi Legislasi di Media Center, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menyarankan agar pemerintah melakukan backdoor diplomacy atau diplomasi pintu belakang untuk mempertahankan hak berdaulat Indonesia di Laut Natuna. Backdoor diplomacy ini dapat dilakukan oleh tokoh dari kedua negara.

"Harus ada yang namanya backdoor diplomacy, diplomasi pintu belakang di mana ada tokoh dari Indonesia dengan tokoh dari sana untuk mencairkan masalah ini,” jelas dia di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (13/1).

Baca Juga

Menurut Hikmahanto, pemerintah Indonesia juga perlu menyampaikan kepada pemerintah China terkait potensi semakin tingginya sentimen anti-China di Indonesia menyusul insiden di Laut Natuna. Padahal, kata dia, China memiliki kepentingan yang besar di Indonesia.

"Kalau misalnya sampai masyarakat kita marah betul dan mohon maaf pemerintah tidak bisa mengendalikan terhadap sentimen anti-China ini, itu yang rugi pemerintah China, investasi China di Indonesia,” ucap Hikmahanto.

Pesan tersebut, kata Hikmahanto, harus ditekankan oleh Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah China. Sehingga, insiden masuknya kapal Cina di perairan Natuna tak terus kembali terulang.

Ia menilai, tindakan China memanfaatkan secara ilegal sumber daya alam di Laut Natuna akan terus terjadi. Sebab, Pemerintah China tak pernah mengakui dasar hukum hak berdaulat Indonesia di Laut Natuna yakni UNCLOS.

"Itu kan masalahnya karena sembilan garis putus ini. Kalau menurut saya tindakan China ini seperti saya bilang tidak akan selesai di akhir jaman. Karena kan pemerintah enggak pernah mengakui, pemerintah China juga enggak mengakui kita,” katanya.

 

Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah memperbanyak nelayan di Laut Natuna untuk memanfaatkan sumber daya alamnya. Namun, rencana pemerintah pusat memobilisasi nelayan pantai utara (pantura) Jawa melaut di Perairan Natuna, Kepulauan Riau tidak berjalan mulus.

Selain belum jelasnya masalah ongkos dan pembiayaan logistik nelayan pantura melaut di Natuna, penolakan juga hadir dari nelayan setempat. Ketua nelayan Desa Sepempang, Natuna, Hendri menyampaikan penolakan dikarenakan beberapa pertimbangan seperti. Salah satunya adalah nelayan pantura menggunakan alat tangkap cantrang.

"Alat tangkap cantrang dapat merusak ikan dan biota laut lainnya, sehingga akan merugikan nelayan itu sendiri," kata Hendri, Ahad (12/1).

Kemudian, kata Hendri, nelayan pantura menggunakan kapal yang lebih besar dan peralatan tangkap modern. Hal ini tentu membuat nelayan Natuna merasa tersaingi, karena armada mereka saat ini masih kecil dan peralatan tangkap yang ada sangat tradisional yaitu berupa pancing ulur.

"Kondisi ini juga akan menyebabkan nelayan lokal jauh tertinggal dan tersisih," imbuhnya.

Ketua nelayan Desa Batu Gajah, Natuna, Kurniawan Sindro Utomo meminta Pemkab Natuna maupun pemerintah pusat memberdayakan nelayan setempat daripada mendatangkan nelayan pantura. Menurut dia, nelayan juga mampu melaut hingga ke Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) asal didukung dengan kapal-kapal dan peralatan yang memadai.

"Pemerintah sebaiknya membantu nelayan Natuna dengan kapal di atas 50 GT, bukan malah mendatangkan nelayan pantura," tuturnya.

Nelayan Natuna lainnya, Khairul Anam, mengaku khawatir jika pemerintah tetap mendatangkan nelayan pantura ke Natuna, maka dapat menimbulkan gesekan antara kedua belah pihak nelayan.

"Konflik Indonesia dan China mulai mereda di laut Natuna. Jangan sampai nanti ada pula konflik lanjutan antara nelayan Natuna dan nelayan pantura," ucap Khairul.

photo
Foto aerial kapal nelayan bersandar di Pelabuhan Tegal, Jawa Tengah, Rabu (8/1/2020).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement