REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) mempertanyakan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap laporan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Sebab, pada 2016 Asuransi Jiwasraya telah membukukan laba semu.
Ketua Umum IAPI Tarkosunaryo mengatakan selama ini imbauan dari akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan Jiwasraya belum bisa membuat jajaran direksi patuh dan menjalankan imbauan tersebut. Hal ini mengingat akuntan publik bekerja di bawah kontrak dengan klien, sehingga diperlukan pengawasan regulator.
“Perlu ada ketegasan juga dari regulator dan pemegang saham. Mestinya bisa memerintahkan,” ujarnya saat konferensi pers di Gedung IAPI, Jakarta, Senin (13/1).
Menurutnya OJK sebagai regulator harus dapat mendorong dan menegaskan kepada Jiwasraya bila dalam audit ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan standar akuntansi. Selama ini, akuntan publik telah mendorong perusahaan untuk mengoreksi laporan keuangan pada 2017 supaya terjadi transparansi.
Permintaannya berupa memasukkan kekurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun dalam balance sheet, sehingga laporan yang tadinya mencetak laba sebesar Rp 360,3 miliar, seharusnya merugi.
"Begitu juga (memberikan) masukan (soal laba semu tahun 2006) juga pasti sudah dilakukan. Dan saat itu opininya juga sudah tidak Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)," ucapnya.
Tarko menyebut OJK pasti sudah mengetahui masalah dalam laporan keuangan Jiwasraya pada waktu itu. Sebab, akuntan publik sudah pasti selalu berkoordinasi sebelum maupun sesudah mengaudit suatu perusahaan.
Hal tersebut juga sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 13/POJK.03/2017 Tentang Penggunaan Jasa Akuntan Publik dan Kantor Akuntan publik Dalam Kegiatan Jasa Keuangan.
"Ya pastilah sudah tahu sebelumnya. Itulah kenapa fungsi dari regulator ya itu tadi, jadi mendorong untuk kemudian entitas-entitas tadi menerbitkan laporan yang semestinya," ucapnya.
Tarko menambahkan selama ini peran akuntan publik hanya sebatas pemberian opini saat laporan keuangan diaudit. "Ada peran akuntan publik dalam penyajian laporan keuangan. Tapi peran akuntan publik tidak kemudian sebagai pihak yang mengambil kebijakan," kata Tarkosunaryo.
Tarko menegaskan akuntan publik sudah pasti mendorong perusahaan untuk mengoreksi laporan keuangan dengan memasukkan kekurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun dalam balance sheet, sehingga laporan yang tadinya mencetak laba, seharusnya merugi. Namun, kewenangan lebih lanjut berada di tangan direksi perusahaan karena akuntan publik tidak bisa mempublikasikan hasil audit sebuah perusahaan.
"Jadi ada rekayasa (laporan keuangan), saya setuju. Tapi auditor ikut rekayasa, saya enggak setuju. Auditor sudah bekerja sesuai yang dikerjakan," ucapnya.