REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak Istana Kepresidenan berpandangan bahwa Indonesia dan Cina sama-sama memiliki klaim tentang perairan Natuna. Deputi Bidang Hukum dan HAM Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani menjelaskan, perbedaan pandangan ini akan terus terjadi selama Cina tidak mengakui dasar hukum yang dimiliki Indonesia atas Natuna.
"Sepanjang Indonesia dan Cina tidak pernah satu ukuran, untuk melihat klaim itu tidak akan bertemu, dan itu wajar saja. Terpenting, bagaimana kita amankan wilayah kita, bagaimana kita lindungi nelayan kita," ujar Dani, panggilan akrab Jaleswari, di Kantor Staf Presiden, Senin (13/1).
Pandangan bahwa Cina dan Indonesia memiliki tumpang-tindih klaim wilayah di Laut Cina Selatan atau Laut Natuna Utara sebelumnya tak pernah diakui Pemerintah Indonesia. Pemerintah Cina juga tak pernah secara terbuka mengakui koordinat wilayah yang mereka klaim di wilayah itu.
Dani menyampaikan, selama ini Indonesia memiliki dasar terkait kedaulatan di Natuna, yakni Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 yang mengatur tentang hak kedaulatan di atas zona ekonomi eksklusif (ZEE). Sementara, Cina masih bersandar pada klaimnya di atas Laut Cina Selatan berlandaskan garis imajiner sembilan garis putus-putus alias “Nine-Dash Line” yang melingkupi hampir seantero Laut Cina Selatan.
Perbedaan pandangan yang akan terus terjadi inilah, menurut Dani, yang membuat potensi pelanggaran kapal-kapal Cina di atas ZEE Natuna akan terus terjadi. "Saya rasa kejadian itu selalu berulang setiap tahun tiap saat karena kita ada perbedaan klaim itu. Cina merasa bahwa itu wilayahnya, kita merasa itu adalah wilayah kita yang diakui UNCLOS 1982," ujar Dani.
Namun, Dani meminta publik untuk tidak khawatir terkait hal ini. Pemerintah Indonesia bersama TNI, ujar dia, terus berupaya menjaga kedaulatan RI. Hal yang penting pula, ujar Dani, adalah menjaga kehadiran negara di Natuna, termasuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sana.
"Soal kedaulatan, kita tak pernah bernegosiasi. Dan itu saya rasa yang terpenting dari apa yang terjadi di Natuna hari ini," katanya.
Sebelumnya, Pangkogabwilhan I Laksdya TNI Yudo Margono mengerahkan tiga kapal perang Republik Indonesia (KRI) untuk mengusir kapal ikan asing yang masih berada di perairan Natuna. Ia menegaskan, kapal-kapal asing yang tetap bertahan di wilayah tersebut akan ditangkap dan diproses hukum.
Tiga KRI yang dikerahkan yaitu KRI Karel Satsuit Tubun (KST) 356, KRI Usman-Harun (USH) 359, dan KRI Jhon Lie 358. Ketiganya melaksanakan konvoi untuk melakukan pengusiran terhadap kapal-kapal ikan asing yang masih berada di wilayah perairan laut Natuna hingga keluar dari ZEE Indonesia. Pengusiran atas puluhan kapal nelayan Cina yang dikawal kapal Penjaga Pantai Cina itu adalah yang kesekian kalinya terjadi dalam sebulan belakangan.
Yudo Morgono mengatakan, hingga kemarin siang tak ada lagi kapal-kapal asing di ZEE Indonesia. "Hasil dari patroli udara Boeing 737 jam 10.00 (WIB) sampai dengan 11.30 (WIB), terdeteksi kapal-kapal ikan beserta Coast Guard Cina sudah kelur garis batas ZEE Indonesia ke arah utara jarak 89 newton meter," kata Yudo kepada Republika, Senin (13/1).
Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020. (Ilustrasi)
Yudo menegaskan, TNI akan menindak tegas kapal-kapal Cina bila tetap membandel dan kembali mengambil sumber daya di ZEE, apalagi memasuki wilayah kedaulatan NKRI. Menurut Yudo, kondisi di Natuna hanya bisa dikonfirmasi melalui deteksi yang dilakukan pesawat Boeing 737 dan KRI yang langsung mengusir kapal Cina di perairan.
Menurut Yudo, deteksi dilakukan dari udara melalui Boeing yang bekerja sama dengan KRI yang bertugas mengusir. Selanjutnya, KRI dan pesawat akan terus menjaga perairan ZEE Indonesia. "Tujuh KRI akan beroperasi rutin setiap hari, harus ada unsur yang jaga supaya tidak kembali masuk," kata dia.
Kapal RI akan bergantian patroli ZEE Indonesia. Hasil pemantauan Puskodal dilanjutkan menggunakan pesawat dan kemudian ditindaklanjuti KRI. Penjagaan akan dilakukan terus-menerus selama 24 jam dalam sehari. "KRI yang siaga ada tujuh. Begitu tiga KRI masuk untuk pengisian bahan bakar dan pembekalan ulang, maka empat KRI akan keluar. Hal itu dilakukan agar tidak ada kekosongan penjagaan," kata Yudo.
Sejauh ini, selain menggencarkan patroli laut, pemerintah juga berencana mendorong nelayan dari berbagai wilayah untuk melaut di perairan Natuna. Namun, rencana itu mendapatkan penolakan dari nelayan tempatan di Natuna yang khawatir penghasilannya akan berkurang.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan, persiapan nelayan nusantara melaut ke perairan Natuna masih dirapatkan."Masih rapat, itu teknis, saya enggak ikut. Itu rapat teknisnya," katanya di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin.
Mantan ketua Mahkamah Kostitusi itu juga menyebutkan rencananya meninjau Natuna dalam 1-2 hari ke depan. Berdasarkan informasi dari Humas Kemenko Polhukam, kunjungan Mahfud MD ke Natuna dijadwalkan pada 15-16 Januari 2020.
Sebelumnya, Mahfud mengatakan, nelayan nusantara dari luar Natuna belum ada yang masuk ke perairan tersebut karena memerlukan persiapan yang matang. "Disiapkan dulu, pengamanannya gimana, rumahnya di mana, aturannya, yang masih mungkin terkendala operasionalnya karena ada permen KKP (peraturan menteri kelautan dan perikanan) atau bagaimana, itu kan harus diselesaikan dulu," katanya.
Setidaknya 470 nelayan dari pantura Jawa dikabarkan sudah mendaftar untuk mencari ikan sekaligus meramaikan perairan Natuna yang belakangan ini memanas karena ulah kapal Penjaga Pantai Cina melanggar ZEE. Bahkan, nelayan-nelayan dari daerah lain senusantara juga ikut, seperti dari Maluku, Makassar, hingga Papua.
Namun, belakangan muncul penolakan nelayan Natuna atas masuknya nelayan dari daerah lain dengan kapal dan peralatan lebih modern karena itu akan membuat nelayan lokal tersisih. Ketua nelayan Desa Sepempang, Natuna, Hendri, menyampaikan penolakan karena beberapa pertimbangan, seperti penggunaan alat tangkap cantrang.
Selain itu, kata dia, nelayan pantura menggunakan kapal yang lebih besar dan peralatan tangkap modern. "Kondisi ini juga akan menyebabkan nelayan lokal jauh tertinggal dan tersisih," ungkapnya. n sapto andika candra/arif satrio nugroho, ed: fitriyan zamzami