REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM— Anggota Dewan Legislatif Hamas dan Wakil Ketua Asosiasi Cendekiawan Islam Palestina, Syekh Salem Salameh, mengeluarkan pernyataan cukup berani. Syekh Salem mengatakan, George Washington telah membunuh penduduk asli Amerika karena mereka adalah Muslim yang memiliki masjid.
Dilansir dari Israel National News, Syekh Salem mengatakan dalam wawancara dengan Mayadeen TV (Lebanon) bahwa ada Muslim yang mengakui dan menormalkan hubungan dengan Israel. Laporan tersebut disampaikan kepada Middle East Media Research Institute (MEMRI).
Dia mengatakan ini merupakan pengkhianatan terhadap Tuhan, Islam, dan Muslim, dan Palestina dan Yerusalem adalah tanah Islam dan milik semua Muslim di dunia. Dia mengklaim Presiden AS George Washington telah memperingatkan kaum Muslim dan membunuh penduduk asli Amerika karena mereka adalah Muslim yang memiliki masjid.
Selain itu, Sheikh Salameh mengatakan AS telah mengeluarkan putusan yang memungkinkan orang Yahudi untuk membunuh Palestina. Pernyataan Syekh Salem sebenarnya bukan hal baru. Nasib Indian Muslim, nyaris tidak terungkap dalam sejarah Amerika. Padahal menurut Mahir Abdal-Razzaaq El, seorang Muslim dari Suku Indian Cherokee Blackfoot di New York, AS, saat ini ada sejumlah Muslim yang hidup di dalam kelompok sukunya.
Sayangnya, sebagian besar masyarakat Amerika justru mengabaikan fakta tersebut. Bahkan, mereka tidak menyadari adanya kontak antara orang-orang Indian dan umat Islam pada masa lampau.
“Hubungan antara Indian dan Islam sudah dimulai oleh para penjelajah Muslim awal yang mengunjungi daratan Amerika, lebih dari seribu tahun yang lalu. Beberapa di antara pendatang Muslim itu bahkan akhirnya hidup bersama nenek moyang kami, penduduk asli Amerika,” tutur Mahir yang bergelar Eagle Sun Walker (Elang Penapak Matahari)lewat sebuah artikel yang dipublikasikan oleh Majalah The Message pada 1996 lalu.
Dia menuturkan, ada banyak dokumen, naskah perjanjian, undang-undang, dan resolusi yang disahkan antara abad ke-17 dan ke-18 yang menunjukkan berbagai macam aktivitas komunitas Muslim Indian. Seperti Perjanjian Persahabatan yang ditandatangani di Sungai Delaware pada 1787, misalnya. Kesepakatan antara Abdel-Khak dan Muhammad Ibnu Abdullah tersebut menjelaskan hak-hak masyarakat Indian di bidang perdagangan, pelayaran maritim, dan pemerintahan—yang pada waktu itu sejalan dengan Islam.
“Sayangnya informasi semacam ini sangat jarang diketahui orang banyak karena tidak pernah disebutkan dalam buku-buku sejarah,” ujar Mahir.
Menurutnya, banyak istilah yang digunakan oleh komunitas Indian yang dipengaruhi kata-kata dari bahasa Arab, Persia, dan Ibrani. Bahkan, aturan berbusana yang melekat pada orang-orang Indian di masa lampau, terutama suku Cherokee, juga banyak mendapat sentuhan nilai-nilai Islami.
“Jika Anda membuka salah satu buku tua yang berisi tentang pakaian tradisional masyarakat Cherokee sampai pada 1832, maka Anda akan melihat kaum pria mengenakan sorban, sedangkan kaum perempuannya memakai penutup kepala yang panjang,” tuturnya.
Tidak hanya itu, kata Mahir lagi, pemimpin Cherokee terakhir yang hidup pada abad ke-19 juga memiliki nama Muslim, yaitu Ramadhan Ibnu Wati. Namun, pengaruh Islam yang pernah tumbuh di kalangan masyarakat Indian tersebut kini seakan-akan punah. Hari ini, tanah leluhur mereka, benua Amerika, hampir seluruhnya diwarnai oleh peradaban Barat.