REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan, total pengaduan konsumen sepanjang 2019 mencapai 1.871 pengaduan. Sebanyak 1.308 di antaranya merupakan pengaduan kelompok, sisanya individual.
Tim Pengaduan YLKI Rio Priyambodo mengungkapkan, pengaduan tahun lalu masih didominasi masalah pada jasa keuangan. "Pengaduan terkait jasa keuangan menembus 46,9 persen pada 2019 meliputi bank, uang elektronik, asuransi, leasing, serta pinjaman online. Terbanyak kedua yaitu perumahan sebesar 14,4 persen, ketiga e-commerce sebanyak 6,3 persen," ujar dia kepada wartawan di Jakarta, Selasa, (14/1).
Jika dirincikan dalam 10 besar pengaduan konsumen, kata Rio, pengaduan soal perbankan paling banyak dengan jumlah 106 kasus. Lalu pengaduan terkait pinjaman online sebanyak 96 kasus, perumahan 81 kasus, belanja online 34 kasus, leasing 32 kasus, transportasi 26 kasus, kelistrikan 24 kasus, telekomunikasi 23 kasus, asuransi 21 kasus, dan pelayanan publik 15 kasus.
Kasus perbankan yang paling sering diadukan, lanjutnya, yakni gagal bayar. "15,09 persen pengaduan bank mengenai gagal bayar atau kredit macet. Masalah keuangannya lebih ke arah kartu kredit," tutur Rio.
Sementara, untuk kasus pinjaman online, sebanyak 39,5 persen mengadukan cara penagihannya yang tidak sopan. "Tata cara penagihan fintech (financial technology) ilegal tidak semestinya, seperti minta video syur, dan lainnya," jelas dia.
Sebanyak 14,5 persen Konsumen, tambahnya, juga banyak mengadukan pinjaman online terkait pengalihan kontak yang bertujuan menyebarkan data pribadi konsumen. Tingginya suku bunga pinjaman online pun masih menjadi keluhan masyarakat.
"13,5 persen konsumen adukan suku bunga. Padahal AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia) telah menetapkan suku bunga 0,8 persen per hari, tapi fintech ilegal masih banyak yang tidak sesuai aturan," kata Rio.
Berdasarkan pengaduan konsumen, terdapat sekitar 90 fintech yang bermasalah. Di antaranya ada yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti Cash Cepat, Kredivo, Kredit Pintar, Kredit Cepat, dan sebagainya.
"Pengaduan fintech ilegal (belum terdaftar di OJK) tetap lebih banyak," ujar dia. Perusahaan tersebut meliputi Akulaku, Home Credit, Dompet Kecil, Go Star, serta lainnya.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, pengawasan OJK terhadap lembaga keuangan masih lemah. Padahal regulator itu sudah sekitar tujuh tahun berdiri.
"Didirikan sejak 2013 tapi masih kedodoran dalam pengawasan. Jadi OJK nggak usah tersinggung kalau saya bilang mandul karena data pengaduan menunjukkan sektor jasa finansial masih sangat tinggi," tegas dia pada kesempatan serupa.
Di sisi lain, lanjutnya, literasi finansial konsumen di bidang jasa keuangan masih rendah. Dengan begitu konsumen tidak memahami secara detil apa yang diperjanjikan atau hal hal teknis dalam produk jasa finansial tersebut.
"Minimnya edukasi dan pemberdayaan konsumen yang dilakukan oleh operator. Operator jasa finansial hanya piawai memasarkan produknya namun malas memberikan edukasi dan pemberdayaan pada konsumen," kata Tulus.
Baginya memberikan edukasi sekaligus pemberdayaan ke konsumen sangat penting. Tujuannya, konsumen memahami produk yang ditawarkan.