REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah gencarnya pemerintah mendorong ekonomi digital, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat pengaduan terkait sektor tersebut masih cukup tinggi. Data YLKI menyebutkan, sebanyak 6,3 persen pengaduan sepanjang 2019 berasal dari masalah e-commerce.
Pengaduan tersebut meliputi belanja daring dan transportasi daring. Angka itu terbanyak ketiga setelah jasa keuangan sebesar 46,9 persen dan perumahan 14,4 persen.
"Dari total pengaduan e-commerce, kebanyakan (28,2) persen masyarakat mengadukan soal barang pesanan tidak diterima," ungkap Rio Priyambodo dari Tim Pengaduan YLKI dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, (14/1).
Di samping itu 15,3 persen konsumen daring mengadukan barang pesanan tidak sesuai spesifikasi serta sistem refund yang sulit. Rio menyebutkan, perusahaan e-commerce yang paling banyak diadukan ialah Bukalapak dan JD.ID dengan jumlah 17,6 persen aduan.
Di posisi kedua dan ketiga jumlah aduan terbanyak ialah Shopee dan Tokopedia. Keduanya tercatat menyumbang aduan sebanyak 14,7 persen serta 8,8 persen. Menurut Rio, salah satu kasus yang paling banyak diadukan ke YLKI adalah pembajakan akun aplikasi ojek daring serta e-commerce.
"Ini jadi trending topik, jadi biasanya karena konsumen kasih kode one time password (OTP) ke orang tidak dikenal," jelas Rio.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi berharap, ke depannya pemerintah tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi digital. Sebab, dari sisi perlindungan konsumen pun perlu diperhatikan.
Tulus mengapresiasi upaya pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. "Tapi bukan berarti masalah ekonomi digital sudah selesai, karena pengaduan e-commerce masih sangat tinggi," ujarnya.