Selasa 14 Jan 2020 15:59 WIB

Perlindungan Konsumen E-Commerce Masih Minim

Pemerintah didorong beri perlindungan untuk konsumen e-commerce.

Belanja online (ilustrasi)
Foto: Prayogi/Republika
Belanja online (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti menyatakan, perlindungan konsumen e-commerce di Tanah Air masih minim. Padahal, Indonesia dengan jumlah populasinya yang besar merupakan pasar yang potensial untuk perkembangan industri ini.

"Permasalahan selanjutnya adalah kesadaran di masyarakat dan juga upaya pemerintah yang masih minim," kata Ira di Jakarta, Selasa.

Baca Juga

Menurut Ira, masyarakat sebagai konsumen belum paham urgensi dari perlindungan data pribadi dan hak-hak mereka sebagai konsumen Untuk itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mengedepankan prinsip perlindungan data pribadi konsumen.

Ira mengingatkan bahwa berdasarkan GlobalWebIndex, Indonesia merupakan negara dengan tingkat pengguna e-commerce terbesar di dunia dengan nilai transaksi sebesar 20,3 juta dolar AS pada 2018. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 3,3 juta dolar kalau dibandingkan dengan 2017.

Sementara itu, McKinsey melaporkan, industri e-commerce di Indonesia akan tumbuh sepanjang 2017-2022 dan menghasilkan 20 juta dolar, serta mendukung dua hingga persen dari PDB Indonesia dan menyediakan sebanyak 26 juta lapangan pekerjaan. Di lain sisi, ada beberapa persoalan yang berpotensi menghambat pertumbuhan perdagangan e-commerce di Indonesia.

"Yang pertama adalah belum adanya regulasi mengenai perlindungan data pribadi. Disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi sangat mendesak sebagai bentuk perlindungan kepada konsumen e-commerce," ucapnya.

Ira berpendapat bahwa penggunaan data pribadi dalam penyedia layanan e-commerce tidak jarang disalahgunakan dan diakses untuk kepentingan di luar transaksi oleh penyedia platform. Dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan perusahaan financial technology (fintech), data konsumen disebarluaskan dan diperjualbelikan tanpa seizin konsumen.

RUU ini, menurut Ria, idealnya mengatur hak dan kewajiban antara penyedia layanan dengan konsumen untuk memperjelas tujuan penggunaan data pribadi dan data apa saja yang boleh diakses oleh penyedia layanan yang berhubungan dengan transaksi tersebut.

"Sayangnya saat ini pembahasan RUU ini masih tertunda karena harus menunggu selesainya pembahasan Omnibus Law," ujarnya

Ira mengatakan, sebenarnya Indonesia saat ini sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. UU lain yang sudah berlaku adalah UU Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan amandemen dari UU Nomor 11 Tahun 2008.

PP ini sudah mengatur beberapa hal, di antaranya adalah mengenai larangan untuk membagikan dan menggunakan data konsumen ke pihak ketiga dan aturan mengenai data apa saja yang boleh digunakan oleh penyedia layanan e-commerce. Namun, di dalamnya, menurut Ira, masih belum ada parameter yang jelas untuk mengukur sejauh mana kinerja para penyedia layanan e-commerce dalam mematuhi regulasi yang berlaku.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement