REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Sebagai sebuah negeri, Mesir memiliki sejarah panjang. Mulai dari masa Fir’aun, khalifah, hingga masa republik. Sejak zaman kuno (4.000 SM), Mesir telah memiliki peradaban yang tinggi. Peninggalan kejayaan Mesir kuno masih berdiri kukuh hingga saat ini, sebut saja misalnya piramid serta spinx (patung singa berkepala
manusia).
Peradabannya yang tinggi, disertai potensi geografis dan budaya yang
dimilikinya, membuat Mesir segera ‘bersinar’ ketika Islam masuk ke sana. Mesir
segera menjadi negeri yang berperan penting dalam sejarah perkembangan Islam.
Islam masuk ke Mesir pada abad 7 ketika Khalifah Umar bin Khatab memerintahkan
Amr bin As membawa pasukan tentara Islam untuk mendudukinya. Setelah menduduki
Mesir, Amr bin As menjadi amir (gubernur) di sana (632-660) dan menjadikan
Fustat (dekat Kairo) sebagai pusat pemerintahan.
Pada masa-masa selanjutnya, Mesir berada di bawah pemerintahan dinasti seperti
Umayah, Abbasiyah, Tulun (868-905), Ikhsyid (935-969), Fatimiah (909-1171),
Ayubiyah (1174-1250) yang ditandai dengan Perang Salib (1096-1273), dan Mamluk
(1250-1517). Pada masa sesudahnya, Mesir menjadi bagian dari Kerajaan Turki
Ottoman. Dalam rentang penguasaan pemerintahan dinasti itu, masa jaya Islam di
Mesir terjadi pada masa Dinasti Fatimiah ketika ibu kota pindah ke Kairo dan
Universitas Al Azhar didirikan.
Keberadaan Al Qahira atau Kairo bermula ketika Mu’izz Lidinillah, khalifah
Fatimiah, berniat melakukan ekspansi ke Mesir. Ia pun mengutus panglima
perangnya, Jauhar al Katib as Siqilli, untuk menaklukkan Mesir. Jauhar berhasil
membangun sebuah kota baru yang diberi nama Al Qahira (Kairo) pada tahun
969. Pada 973, Khalifah Mu’izz hijrah ke Mesir dan menjadikan Kairo sebagai
pusat pemerintahan.
James E Lindsay dalam Daily Life in the Medieval Islamic World bercerita tentang
Al Qahira atau Kairo ini. Ibu kota baru ini, tulis Lindsay, dibangun dengan
sangat baik. Sebuah masjid megah, yakni Masjid Al Azhar, dibangun di sana.
Istana kerajaan ada di jantung kota. Dari sisi pertahanan, Jauhar membangun
benteng tangguh yang melingkupi Kairo. Di beberapa bagian benteng itu, ada
gerbang berpelat besi. Lewat gerbang inilah, warga setempat bisa bepergian ke
Suriah dan Fustat.
Selain masjid, dibangun pula mushala. Berbeda dengan masjid yang ada di pusat
kota, mushala lebih banyak berlokasi di pinggiran kota. Penguasa Mesir saat itu
juga menyediakan lahan pemakaman untuk warga.
Di bawah Dinasti Fatimiah, Kairo mencapai kejayaan sebagai pusat pemerintahan.
Dinasti ini menorehkan kegemilangan selama 200 tahun. Wilayahnya mencakup
Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan
Hijaz. Kairo pun tumbuh sebagai pusat perdagangan di kawasan Laut Tengah dan Samudera Hindia. Sementara ibu kota Mesir sebelumnya, Fustat, menjadi bagian dari wilayah administratifnya.
Saingi Baghdad dan Cordoba
Pada era itu pula, Kairo menjelma menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah
baru. Bahkan, seperti tertulis dalam Ensiklopedia Islam untuk Pelajar, pada masa
pemerintahan Abu Mansur Nizar al Aziz (975-996), Kairo mampu bersaing dengan dua
ibu kota Dinasti Islam lainnya, yakni Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah dan
Cordoba sebagai pusat pemerintahan Dinasti Umayyah di Spanyol
Seperti halnya Dinasti Abbasiyah dan Umayyah yang mampu membangun istana,
Dinasti Fatimiah pun mampu mendirikannya. Tak hanya istana, ketiga dinasti yang
berada di tiga benua berbeda itu pun ‘berlomba’ membangun masjid. Dinasti
Abbasiyah di Baghdad bangga memiliki Masjid Samarra, Dinasti Umayyah membangun
Masjid Cordoba, dan Fatimiah memiliki Masjid Al Azhar.
Di bidang administrasi negara, Fatimiah pun menorehkan sesuatu yang patut ditiru
oleh para penguasa di era berikutnya, termasuk di era modern saat ini. Dalam
merekrut pegawai, misalnya, pemerintahan Fatimiah mengutamakan kecakapan
dibandingkan pertalian keluarga. Artinya mereka menjauhi praktik yang disebut
masyarakat modern sebagai nepotisme. Semangat toleransi pun dikembangkan.
Penganut Sunni dan Syiah memiliki peluang yang sama untuk menduduki suatu
jabatan.
Pada akhir masa kejayaan Fatimiah, Kairo hampir saja jatuh di bawah penguasaan
tentara Perang Salib. Beruntung, panglima perang Salahudin Al Ayubi berhasil
menghalaunya. Sejak itu, Salahudin mendeklarasikan kekuasaannya di bawah bendera
Dinasti Ayubiyah, yang hanya bertahan 75 tahun. Kairo kemudian diambil alih
Dinasti Mamluk. Sekitar tiga abad lamanya, Mamluk menjadikan Kairo sebagai pusat
pemerintahan.